Indonesia di Tengah Pusaran Salah Urus


Oleh: Saiful Huda Ems

Penulis adalah seorang Lawyer dan Aktivis


Kereta Cepat Indonesia (KCI) Jakarta-Bandung atau yang kini dikenal sebagai Whoosh memang ramai penumpang, namun sayangnya tetap mengalami kerugian. Pendapatannya tak mampu menutupi beban utang terhadap investor. Bandara Kertajati pun bernasib serupa: bukan menjadi pusat mobilitas, malah sekadar tempat parkir pesawat yang "beristirahat". Lokasinya yang jauh dari pusat kota dan akses jalan yang belum memadai menjadi biang kerok stagnasinya operasional.

Sementara itu, proyek ambisius Ibu Kota Nusantara (IKN) terbengkalai. Alih-alih dihuni oleh aparatur negara, kawasan itu kini didominasi oleh kawanan tikus hutan. Ironisnya, anggaran perawatannya menyedot dana hingga ratusan miliar rupiah, tanpa satu pun warga sipil yang menempatinya.

Tarif listrik melonjak drastis. Padahal, seluruh rakyat Indonesia adalah pengguna PLN dan semuanya membayar—tidak ada yang gratis. Di sisi lain, nilai tukar rupiah terus melemah terhadap dolar AS. Di tengah musim panen raya, harga padi—terutama jenis ketan—merosot tajam. 

Di Subang, harga ketan hanya dihargai sekitar Rp4.500 per kilogram, padahal sebelumnya bisa menembus Rp6.000 hingga Rp7.000. Harga itu nyaris menyamai harga jengkol, lengkap dengan aroma menyengatnya.

Biaya pendidikan tinggi semakin mencekik, dan layanan kesehatan tak kalah menyedihkan. Mengandalkan BPJS ibarat berjudi dengan waktu: mendaftar sejak subuh, dilayani setelah matahari tenggelam. Hotel-hotel di Bali dan kota-kota besar lainnya kian sepi. 

Jalan-jalan di Jawa Barat banyak yang berlubang, dan yang sudah rusak malah sengaja dirusak lagi—ironisnya, oleh bekas gubernurnya sendiri.

Toko-toko sepi pembeli. Arus mudik Lebaran 2025 tercatat menurun 25% dibandingkan tahun sebelumnya. Media televisi dan portal online tak henti-hentinya menayangkan berita korupsi, unjuk rasa mahasiswa, kasus kekerasan seksual, perampokan, tawuran warga, hingga pembunuhan oleh geng motor. Seolah tak ada lagi ruang untuk kabar yang membawa harapan.

Ketika Tiongkok unjuk gigi dengan teknologi masa depan—robot canggih, inovasi industri, dan lompatan sains—Indonesia malah sibuk memperbincangkan skandal gaya hidup hedonis para pejabatnya. Bahkan, kisah asmara mantan gubernur dengan para simpanannya menjadi konsumsi publik, dan ironisnya, menyeretnya ke dalam “gua terlarang” yang berujung fatal.

Di tengah kondisi seperti ini, jangan berharap ada pembangunan besar seperti jalan tol, rel kereta api, sekolah, rumah sakit, atau rumah ibadah yang berpihak pada kaum miskin, marginal, dan wong cilik. Kenyataannya, kas negara sudah defisit bahkan sejak pemerintahan baru—yang dipimpin Prabowo Subianto—mulai berjalan. 

Pemerintahannya kini dibebani keharusan membayar utang ribuan triliun setiap tahun, sebagai warisan dari masa kepemimpinan Jokowi yang dinilai sembrono dalam mengelola negara. Sementara itu, hasil-hasil BUMN dan kekayaan alam dijadikan bancakan oleh para "coro-coro negara" yang rakus.

Apa yang kita alami hari ini bukan semata-mata akibat krisis global seperti perang Rusia-Ukraina, konflik Israel-Palestina, atau ketegangan China-Taiwan. Lebih dari itu, akar utamanya terletak pada salah urus negara oleh seorang pemimpin yang dituding menggunakan ijazah palsu dan berkuasa dengan cara-cara brutal yang merusak sendi-sendi kenegaraan.

Baru-baru ini, kampus Universitas Gadjah Mada (UGM) didatangi sejumlah ibu-ibu dari berbagai penjuru negeri, menuntut kejelasan soal keaslian ijazah Jokowi. Namun, yang bersangkutan justru berdalih bahwa ijazahnya telah hilang. Pihak rektorat pun enggan memberikan penjelasan, apalagi bukti fisik atas keaslian ijazah yang selama ini diklaim berasal dari UGM.


Kalau kamu mau saya sesuaikan lagi nadanya—misal, lebih netral, lebih tajam, atau lebih satir—tinggal bilang aja.

Previous Post Next Post

Contact Form