Jebakan Politik dan Ekonomi: Saat Kekuasaan Jadi Bumerang


Saiful Huda EMS

Oleh: Saiful Huda EMS 
Penulis: Lawyer dan pemerhati politik 


Ketika 15 posisi strategis diisi oleh Partai Hijau (Parjo), langkah berikutnya sudah bisa ditebak: mereka akan terus memperluas cengkeramannya di berbagai lembaga lain. 

Dengan strategi yang matang, Parjo juga memastikan parlemen dikuasai lebih banyak kadernya. Namun, demi menghindari kesan mengulang sejarah masa Sang Mertua, kali ini anggota parlemen dari Parjo tak diangkat langsung oleh Presiden, melainkan melalui Pemilu yang sudah "dikondisikan" sejak awal.

Partai Coklat (Parcok) sadar bahwa pola ini mengingatkan pada era Sang Mertua, di mana kekuasaan terkonsentrasi hanya pada satu kelompok, sementara Parcok sendiri terpinggirkan. Agar tetap mau mendukung, Parcok diberikan bagian "kue" kekuasaan—mengelola urusan perburuhan koruptor, terutama setelah Komisi Pemberantasan Kritikus dibubarkan.

Namun, di balik semua itu, krisis ekonomi semakin tak terkendali. Nilai tukar mata uang domestik terhadap dolar melonjak liar, tak beda dengan kodok Mukidi di era pencitraan pertamanya. 

Pemutusan hubungan kerja (PHK) massal melanda, pengangguran meningkat, dan kriminalitas menjalar ke seluruh penjuru negeri.

Di tengah kondisi ini, penguasa semakin sensitif dan anti-kritik. Penahanan, penculikan, hingga pembunuhan aktivis mulai dihidupkan kembali, mirip situasi menjelang kejatuhan Sang Mertua dulu.

Para pendukung garis keras penguasa yang dulu galak terhadap kritik kini menghadapi kenyataan pahit: bisnis mereka bangkrut, gundik-gundik mereka pergi meninggalkan, dan mereka yang sebelumnya pas-pasan namun sok membela rezim kini kelaparan dan murung.

Keadaan makin ironis ketika mereka yang dulu mencaci demonstran kini justru turun ke jalan, meneriakkan kritik yang dulu mereka benci. Mereka mulai sadar bahwa kekuasaan yang mereka dukung ternyata hanya jebakan.

"Duh, nasib... Dukung Parjo dikira bakal bikin negeri aman dan makmur, eh, malah lebih parah dari Mukidi yang ternyata sama saja."

Di titik ini, suara penyesalan menggema bak badai di puncak Gunung Everest. Yang dulu bertepuk tangan mendukung, kini menjerit menuntut perubahan. Sejarah kembali berulang—dan kali ini, mereka yang dulu buta akhirnya mulai melihat. [Benhil Online]
Previous Post Next Post

Contact Form