Oleh: Saiful Huda Ems
Penulis: Lawyer dan pemerhati politik
Persidangan praperadilan yang diajukan Sekjen PDIP, Hasto Kristiyanto, terhadap KPK di PN Jakarta Selatan semakin menarik perhatian publik. Dari hari ke hari, tampak jelas bagaimana tim kuasa hukum Hasto unggul dalam menyampaikan argumentasi hukum, sementara pihak KPK kerap terlihat kewalahan menghadapi berbagai sanggahan.
Melihat situasi yang semakin memojokkan KPK, kubu yang dianggap sebagai "pengkhianat" dalam internal PDIP—yakni Jokowi dan lingkaran oligarkinya—diduga mulai memainkan strategi baru. Kali ini, mereka kembali menggandeng Lembaga Survei Indonesia (LSI), yang kerap menjadi alat untuk membentuk opini publik.
Tujuan penggunaan LSI ini diduga kuat adalah untuk memengaruhi persepsi masyarakat dan bahkan hakim praperadilan agar berpihak pada narasi tertentu: bahwa Hasto Kristiyanto harus dikalahkan.
Padahal, di tengah berbagai kasus besar yang melibatkan dugaan korupsi bernilai ratusan triliun—seperti penyalahgunaan kekuasaan dalam proyek pagar laut, korupsi tambang, hingga ekspor nikel ilegal—LSI justru memilih merilis survei terkait dugaan keterlibatan Hasto dalam kasus suap dengan nominal yang jauh lebih kecil dan tidak merugikan keuangan negara secara langsung.
Kejanggalan Bukti yang Diajukan KPK
Dalam persidangan, berbagai kejanggalan dalam alat bukti yang diajukan KPK semakin memperjelas bahwa proses hukum terhadap Hasto terkesan dipaksakan. Sebanyak 80% bukti yang dibawa KPK hanya berupa fotokopi dari dokumen yang juga fotokopian—suatu tindakan yang jelas cacat secara hukum. Lebih jauh, ada Berita Acara Pemeriksaan (BAP) yang tidak lengkap dan sebagian belum diparaf.
Tak hanya itu, tim kuasa hukum Hasto juga menemukan kejanggalan lain berupa Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) yang ditandatangani oleh pimpinan KPK. Padahal, sesuai putusan MK, pimpinan KPK tidak lagi memiliki kewenangan sebagai penyidik. Hal ini semakin menguatkan dugaan bahwa proses hukum terhadap Hasto sarat dengan cacat prosedural dan berpotensi melanggar hak asasi seseorang.
Framing Media dan Opini Publik yang Dibentuk
Merespons perkembangan sidang yang tidak menguntungkan bagi KPK, muncul survei dari LSI yang mengklaim bahwa 77% responden percaya Hasto terlibat dalam kasus Harun Masiku. Namun, jika angka itu dianalisis lebih dalam, hanya 38,2% responden yang mengaku mengetahui kasus ini, sehingga jika dikalikan dengan 77%, hasilnya hanya sekitar 25% dari total responden. Artinya, mayoritas masyarakat sebenarnya tidak percaya Hasto terlibat.
Namun, framing berita yang disusun tampaknya sengaja menyesatkan persepsi publik, seolah-olah 77% masyarakat Indonesia meyakini keterlibatan Hasto. Cara penyajian data seperti ini menunjukkan bagaimana survei bisa digunakan sebagai alat propaganda, bukan sebagai refleksi objektif dari opini publik.
Dari perspektif ilmiah dan etika penelitian, metode survei semacam ini sangat bermasalah. Pertama, tidak etis karena berpotensi mempengaruhi independensi lembaga peradilan. Kedua, mayoritas responden sebenarnya tidak memiliki pemahaman hukum yang cukup untuk memberikan penilaian objektif. Ketiga, ini menciptakan preseden buruk di mana opini publik digunakan sebagai justifikasi untuk keputusan hukum.
Jika praktik manipulasi opini publik seperti ini terus dibiarkan, maka yang dikorbankan bukan hanya Hasto Kristiyanto, melainkan juga kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum dan demokrasi itu sendiri. Semoga ada kesadaran kolektif bahwa penghianatan intelektual—seperti penyalahgunaan survei untuk kepentingan politik—merupakan ancaman serius bagi integritas bangsa. [Benhil Online]