Menyangkal Korupsi Jokowi: Bukan Lagi Soal Konyol atau Tidak

Saiful Huda EMS

Oleh: Saiful Huda Ems
Pengacara dan Pengamat Politik


Sebagai seseorang yang pernah ditawari oleh media-media besar untuk menjadikan platform mereka sebagai saluran opini politik saya dengan imbalan uang, saya bisa memahami dinamika ini. Namun, tawaran itu selalu saya tolak. Selain karena tidak mampu membayar, saya tidak ingin opini saya terpublikasi hanya karena didorong oleh transaksi finansial.

Fenomena ini menjelaskan mengapa sejumlah media tertentu sering terlihat membela Presiden Joko Widodo (Jokowi) setelah dirinya dinominasikan oleh Organized Crime and Corruption Reporting Project (OCCRP) sebagai salah satu kandidat Presiden Terkorup Dunia 2024. 

Jokowi, yang kini berada di puncak kekuasaan setelah menjadi Wali Kota, Gubernur, dan Presiden selama dua periode, memiliki kekuatan finansial yang luar biasa. Bukan hal sulit baginya untuk memanfaatkan media besar sebagai alat komunikasi politik.

Namun, OCCRP bukanlah organisasi sembarangan. Sebagai media investigasi kelas dunia, setiap rilis yang mereka keluarkan didasarkan pada penelitian dan analisis mendalam. 

Menjadikan Jokowi sebagai salah satu finalis Presiden Terkorup Dunia 2024 tentu memiliki dasar kuat, bukan tuduhan tanpa bukti. 

Faktanya, beberapa pemimpin dunia lainnya telah kehilangan jabatannya akibat laporan serupa dari OCCRP, baik melalui pengunduran diri maupun kejatuhan politik.

Definisi Korupsi: Lebih dari Sekadar Uang

Jokowi dan pendukungnya perlu memahami bahwa definisi korupsi di lingkup internasional lebih luas daripada sekadar pencurian uang negara. 

Korupsi mencakup penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power). Contoh konkret yang sering disoroti adalah dugaan penggunaan aparat hukum seperti KPK untuk menekan lawan politik, pengaruh terhadap institusi kepolisian demi mendorong agenda politik tertentu—termasuk mendorong anaknya sendiri menjadi kandidat Wakil Presiden—hingga intervensi dalam pemilihan kepala daerah. Semua itu, dalam konteks global, dapat dikategorikan sebagai bentuk korupsi.

Jika penilaian OCCRP terhadap Jokowi mencakup aspek-aspek ini, apakah masih ada alasan untuk menyangkal? Bukankah banyak tindakan yang dinilai sebagai pelanggaran hukum oleh Jokowi sudah menjadi pembicaraan luas di masyarakat? Dari pedagang kecil hingga para pejabat tinggi, isu-isu ini bukan lagi rahasia.

Menyangkal fakta ini, terutama jika didukung oleh riset dan bukti kuat, hanya akan dianggap sebagai langkah yang tidak masuk akal. Alih-alih mengelak, bukankah lebih bijak untuk merefleksikan dan memperbaiki hal-hal yang dianggap sebagai kekurangan? 

Di dunia yang semakin transparan, menyangkal fakta tanpa argumen yang kokoh justru menunjukkan kelemahan. [Benhil Online]
Previous Post Next Post

Contact Form