Oleh: Saiful Huda Ems
Advokat, Analis Politik, dan Aktivis ’98
Selasa, 21 Januari 2025, menjadi hari yang dinanti dalam perjalanan hukum Indonesia. Sidang praperadilan pertama yang diajukan oleh tim kuasa hukum Hasto Kristiyanto melawan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dijadwalkan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Namun, agenda ini berakhir mengecewakan karena ketidakhadiran pihak KPK.
Ketidakhadiran ini mengundang tanda tanya besar. Bayangkan jika situasinya terbalik: Hasto Kristiyanto yang mangkir dari sidang, niscaya buzzer politik akan menyerang habis-habisan, menudingnya takut menghadapi hukum. Tapi kali ini, ketika KPK yang absen, keheningan justru mendominasi.
Sidang praperadilan ini adalah upaya hukum Hasto Kristiyanto untuk melawan dugaan kesewenang-wenangan KPK, yang menetapkannya sebagai tersangka dalam kasus suap Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang melibatkan Harun Masiku pada 2019.
Koordinator tim hukum Hasto, Ronny Talapessy, menyebut langkah ini sebagai bagian penting dari perjuangan mempertahankan demokrasi melalui jalur hukum.
Dalam persidangan, tim hukum Hasto membeberkan berbagai kejanggalan. Mulai dari dugaan cacat prosedural hingga penerbitan surat perintah penyidikan (sprindik) dan surat pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP) yang dinilai tidak sesuai aturan.
Selain itu, penetapan Hasto sebagai tersangka dianggap gegabah dan melanggar prinsip hukum yang seharusnya menjunjung kepastian, transparansi, dan akuntabilitas.
Ironisnya, ketidakhadiran KPK dalam sidang ini dibenarkan dengan alasan memerlukan waktu tambahan untuk menyiapkan materi. Padahal, sebelumnya KPK sudah sesumbar siap menghadapi gugatan ini. Tindakan ini jelas mencederai asas persidangan, termasuk hak tersangka untuk mendapatkan kepastian hukum yang seharusnya dijunjung tinggi.
Hakim tunggal PN Jakarta Selatan, Djuyamto, akhirnya memutuskan menunda sidang dan menjadwalkan ulang pada Februari 2025. Namun, di balik layar, beredar kabar bahwa KPK masih kesulitan mencari bukti baru yang dapat memperkuat tuduhannya terhadap Hasto. Bahkan, sejumlah saksi dikabarkan mengalami tekanan, mulai dari intimidasi hingga tawaran uang agar memberikan keterangan yang memberatkan Hasto.
Salah satu sorotan lain adalah perlakuan KPK terhadap Agustiani Tio Fredelina, mantan terpidana dalam kasus ini yang sebelumnya kooperatif dan telah selesai menjalani hukuman. Meski sedang menderita sakit serius dan memerlukan perawatan di luar negeri, Tio tiba-tiba dicekal oleh KPK. Langkah ini tidak hanya mengabaikan sisi kemanusiaan, tetapi juga menimbulkan kecurigaan bahwa ada tekanan agar Tio memberikan kesaksian yang menguntungkan KPK.
Kesaksian Tio pada persidangan tahun 2020 lalu tidak pernah menyinggung keterlibatan Hasto. Namun, kini ia menjadi korban perlakuan yang dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Hal ini menambah daftar panjang dugaan tindakan represif KPK dalam menangani kasus suap Harun Masiku.
Kasus ini memperlihatkan gambaran suram penegakan hukum yang seharusnya berlandaskan keadilan. Penetapan Hasto sebagai tersangka terasa tergesa-gesa, sehingga tampak seperti upaya membabi buta untuk mencari kesalahan. Jika dibiarkan, ini akan menjadi preseden buruk bagi hukum di Indonesia.
Langkah KPK yang tidak konsisten dan terkesan mencari-cari bukti hanya akan menimbulkan ketidakpercayaan publik terhadap lembaga antirasuah ini. Apakah hukum masih menjadi alat keadilan, atau telah berubah menjadi senjata politik? Waktu akan menjawab, tetapi satu yang pasti, demokrasi dan keadilan tidak boleh dikorbankan. [Benhil Online]