Oleh: Saiful Huda Ems
Penulis adalah seorang lawyer dan aktivis 98
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sejatinya dibentuk untuk menangani kasus-kasus besar dengan nilai kerugian yang signifikan, seperti miliaran hingga triliunan rupiah. Namun, ketika KPK justru terjebak dalam kasus suap Harun Masiku yang nominalnya di bawah Rp1 miliar dan bahkan tidak berdampak langsung pada keuangan negara, banyak pihak mempertanyakan arah lembaga ini. Ada yang menyindir, bukannya menjadi "Komisi Pemberantasan Korupsi," KPK malah terlihat seperti "Komisi Penyelamat Koruptor."
KPK sendiri lahir pada masa pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri pada tahun 2002, melalui Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. Undang-undang ini kemudian direvisi menjadi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019.
Pembentukan lembaga ini merupakan respons atas desakan para aktivis lintas generasi yang merasa tidak percaya dengan kinerja pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh institusi Polri dan Kejaksaan Agung kala itu.
Presiden Megawati ternyata sejalan dengan aspirasi para aktivis. Ia memandang bahwa KPK dapat berfungsi sebagai trigger mechanism—pemantik bagi institusi penegak hukum yang ada agar lebih efektif dan efisien dalam memberantas korupsi. Akhirnya, pada tahun 2002, KPK resmi berdiri sebagai lembaga ad hoc yang berada di bawah naungan eksekutif dengan tugas menjalankan fungsi kepolisian dan kejaksaan.
Namun, melihat perjalanan KPK saat ini, khususnya sejak era pemerintahan Presiden Joko Widodo hingga transisinya ke Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, kinerja KPK dinilai mengalami kemunduran. Hal ini menimbulkan pertanyaan mendalam: apa yang sebenarnya terjadi dengan KPK sekarang?
Dr. Sarkowi, seorang pakar hukum, mengkritik proses seleksi Komisioner KPK dan Dewan Pengawas KPK saat ini. Menurutnya, sesuai aturan, seleksi tersebut seharusnya dilakukan oleh panitia yang dibentuk dan ditunjuk langsung oleh Presiden Prabowo Subianto.
Namun faktanya, Komisioner KPK dan Dewan Pengawas yang bertugas saat ini adalah hasil keputusan Presiden Jokowi yang dibuat pada masa transisi pemerintahan.
Implikasinya, secara hukum, keberadaan Komisioner KPK dan Dewan Pengawas saat ini dapat dianggap cacat hukum. Dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 disebutkan bahwa seorang presiden hanya memiliki kewenangan untuk memilih Komisioner dan Dewan Pengawas KPK satu kali dalam lima tahun masa jabatannya.
Dengan demikian, keputusan Jokowi di penghujung masa jabatannya disebut melanggar aturan tersebut, sehingga seluruh tindakan hukum yang dilakukan KPK di bawah pimpinan saat ini bisa saja batal demi hukum.
Masalah ini menambah daftar panjang kontroversi yang melibatkan mantan Presiden Joko Widodo. Banyak pihak yang mulai berteriak lantang agar ia dimintai pertanggungjawaban atas berbagai polemik yang muncul selama masa pemerintahannya. Apakah ini waktunya bagi hukum untuk berbicara lebih tegas? Hanya waktu yang bisa menjawab. [Benhil Online]