Oleh: Saiful Huda Ems
Lawyer dan mantan aktivis 98
Upaya menjadikan Joko Widodo sebagai figur politik kelas dunia pernah menjadi ambisi sebagian pendukungnya. Bahkan, muncul wacana mencalonkan Jokowi sebagai Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Namun, kenyataan menunjukkan hal berbeda. Selepas masa jabatannya sebagai presiden, Jokowi justru dianggap turun level menjadi politisi lokal dengan terlibat aktif sebagai "makelar" dalam berbagai Pilkada di daerah.
Kritik tajam terhadap Jokowi semakin keras ketika muncul dugaan bahwa ia memanfaatkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menjatuhkan Hasto Kristiyanto, Sekjen PDIP. Penetapan Hasto sebagai tersangka dalam kasus suap Harun Masiku pada malam Natal memantik spekulasi adanya kepentingan tersembunyi di balik langkah KPK.
Seakan belum cukup, pada malam pergantian tahun 2024, organisasi internasional OCCRP memberikan "hadiah pahit" dengan menobatkan Jokowi sebagai finalis pemimpin paling korup di dunia.
Citra Jokowi yang sering digambarkan sederhana, jujur, dan sabar, kini semakin dipertanyakan. Banyak pihak menilai ada sisi gelap yang tersembunyi di balik senyumnya. Sebagai seorang yang dianggap ambisius dan manipulatif, Jokowi diduga menghalalkan berbagai cara untuk mencapai tujuan politiknya.
Kritik juga menyoroti kehidupan mewah anak-anaknya, Gibran dan Kaesang, yang tiba-tiba menjadi miliarder meskipun bisnis martabak dan pisang mereka sebelumnya dilaporkan bangkrut. Muncul dugaan kuat bahwa kekayaan tersebut tak lepas dari gratifikasi selama Jokowi menjabat sebagai presiden. Selain itu, perjalanan Kaesang menggunakan jet pribadi bersama istrinya ke Amerika Serikat juga menuai sorotan sebagai bentuk gratifikasi yang mencolok.
Tak hanya itu, gaya hidup mewah Iriana Jokowi dengan koleksi tas bermerek mahal turut menjadi bahan perbincangan. Bahkan, dugaan keterlibatan putri Jokowi, Kahiyang Ayu, dan menantunya, Bobby Nasution, dalam kasus mafia tambang "Blok M" semakin menambah daftar panjang kontroversi keluarga ini.
Selain persoalan pribadi, kritik terhadap kebijakan pemerintahannya pun terus bermunculan. Rezim Jokowi disebut-sebut menghabiskan triliunan dana APBN untuk membayar para buzzer dan influencer guna memperkuat narasi politiknya. Klaim pembangunan jalan tol ribuan kilometer juga dipertanyakan, mengingat dana yang digunakan ternyata berasal dari investor swasta, bukan dari pemerintah.
Begitu pula dengan proyek ambisius Ibu Kota Negara (IKN). Jokowi mengklaim banyak investor asing mengantri untuk berinvestasi, namun faktanya, mayoritas investor adalah pengusaha lokal yang "dipaksa" untuk menyelamatkan muka pemerintah. Alat transportasi umum yang sebelumnya disebut sudah tersedia ternyata hanyalah pinjaman sementara dari China.
Jika menilik rekam jejak ini, tak mengherankan jika OCCRP menjadikan Jokowi sebagai finalis pemimpin terkorup dunia. Kritik ini, bagi sebagian orang, dianggap sebagai "karma" atas langkah kontroversial Jokowi terhadap Hasto Kristiyanto. Malam Tahun Baru kali ini menjadi saat yang penuh ironi bagi Jokowi—sebuah awal tahun dengan noda hitam di catatan politiknya.
Wallahu a'lam bisshawab.