Oleh: Saiful Huda Ems
Penulis adalah seorang lawyer dan aktivis 98
Kebutuhan mendesak yang tak boleh diabaikan oleh penegak hukum saat ini adalah memanggil Joko Widodo, mantan Presiden ke-7 RI, untuk dimintai pertanggungjawaban. Selama masa kepemimpinannya, Jokowi diduga melakukan berbagai pelanggaran hukum yang sangat serius. Jika ini dibiarkan, masa depan Indonesia akan terus dibayangi oleh praktik kepala negara yang kebal hukum.
Dosa-Dosa Politik dan Lingkungan di Era Jokowi
Jokowi bukan hanya disorot karena dugaan kejahatan Pemilu 2024, di mana ia dituding memperalat ASN, Polri, dan TNI demi memperkuat dinasti politiknya. Lebih dari itu, ia juga dinilai terlibat dalam kejahatan lingkungan besar-besaran selama menjabat.
Menurut laporan World Population Review, Indonesia tercatat sebagai negara dengan tingkat kerusakan lingkungan dan kehilangan hutan terbesar kedua di dunia, hanya kalah dari Brasil.
Di era Jokowi, sekitar 100.000 mil persegi hutan Indonesia lenyap demi membuka lahan untuk investasi tambang dan proyek lainnya. Tak hanya itu, laporan mengindikasikan adanya korupsi berjamaah terkait pengelolaan lahan tersebut.
Ironisnya, hingga kini, tidak ada tindakan hukum terhadap Jokowi maupun keluarganya, meskipun mereka kerap dikaitkan dengan kelompok Mafia Blok M.
Lebih memilukan, sebagian besar lahan yang hilang—sekitar 44,7 juta hektar atau 53% dari total hutan alam—diberikan konsesi kepada sektor ekstraktif di masa pemerintahan Jokowi. Dampaknya sangat nyata, banjir bandang, tanah longsor, dan bencana lingkungan lainnya yang terus terjadi di wilayah bekas tambang dan kawasan yang rusak.
Manipulasi Proyek Strategis dan Kegagalan Ekonomi
Tak hanya di sektor lingkungan, proyek strategis nasional juga banyak menuai kontroversi. Salah satu contohnya adalah proyek reklamasi PIK 2 yang diprotes keras oleh warga lokal karena penggusuran dengan ganti rugi yang dinilai tidak adil.
Di sisi lain, APBN terkuras untuk membiayai ambisi Jokowi, termasuk proyek IKN yang sebelumnya dijanjikan akan dibiayai oleh investor. Kenyataannya, dana APBN justru digunakan secara besar-besaran.
Kebijakan ekonomi Jokowi pun dianggap membahayakan. Pinjaman luar negeri yang terus membengkak tanpa perhitungan matang, serta pembiaran terhadap maraknya perjudian dan pinjaman online, telah membuat rakyat menjadi korban. Akibatnya, jutaan warga Indonesia terjebak dalam kemiskinan ekstrem.
Presiden Prabowo sendiri dalam forum G20 di Rio de Janeiro, Brasil, pada 18 November 2024, mengungkapkan bahwa 25% anak-anak Indonesia mengalami kelaparan. Angka ini mencerminkan betapa buruknya pengelolaan negara di bawah pemerintahan Jokowi.
Kesenjangan dan Kerusakan Demokrasi
Di era Jokowi, kekayaan Indonesia terkonsentrasi di tangan segelintir orang. Sekitar 80% kekayaan nasional dikuasai oleh 10 konglomerat, sementara 50% kekuasaan politik hanya terkonsentrasi pada satu atau dua keluarga. Situasi ini bahkan lebih buruk dibandingkan era Orde Baru di bawah Soeharto.
Selain itu, Jokowi dinilai merusak tatanan hukum dan demokrasi yang telah diperjuangkan selama bertahun-tahun. Pemerintahannya justru dianggap memelihara makelar perjudian online di berbagai kementerian strategis. Akibatnya, banyak rakyat terjerumus ke dalam utang, bunuh diri karena tertekan, hingga kehilangan harapan.
Saatnya Hukum Bicara
Melihat kerusakan yang ditimbulkan, memanggil dan mengadili Jokowi adalah langkah yang tak bisa ditunda lagi. Memastikan keadilan ditegakkan adalah tanggung jawab utama agar Indonesia kembali ke jalur yang benar. [Benhil Online]