Selama lebih dari satu abad, para arkeolog berupaya memecahkan misteri lokasi Keraton Majapahit, sebuah situs yang diyakini berada di Trowulan, sekitar 50 kilometer dari Surabaya. Namun, hingga kini yang tersisa di sana hanyalah reruntuhan bata kuno, jejak-jejak penggalian, dan sisa perburuan harta karun era kolonial yang mengikis sejarah.
Menurut Amrit Gomperts, seorang peneliti independen asal Belanda, lebih dari lima juta meter kubik tanah situs Trowulan telah hilang sejak 1816. Keserakahan pemburu harta karun masa lalu menjadi penyebab utama kaburnya petunjuk keberadaan istana megah ini.
Pada 1941, Willem Frederik Stutterheim, Kepala Badan Arkeologi Hindia Belanda, berhasil merekonstruksi denah Keraton Majapahit berdasarkan deskripsi dalam Negarakretagama karya Mpu Prapanca. Namun, ia tidak pernah mengungkap lokasi persis keraton tersebut. Meninggal dunia pada 1942 sebelum hasil penelitiannya dipublikasikan, Stutterheim meninggalkan teka-teki besar yang hingga kini belum terpecahkan.
Penelusuran Modern dan Jejak Digital
Pada 2008, tiga peneliti—Amrit Gomperts, Arnoud Haag, dan Peter Carey—menggabungkan teknologi modern seperti Geographical Information System (GIS) dengan penelitian tekstual untuk melacak jejak keraton. Mereka memanfaatkan citra satelit dari Google Earth dan Google Maps untuk mengungkap pola-pola tersembunyi di Trowulan yang tidak terlihat dari permukaan tanah.
Hasilnya mencengangkan. Jejak-jejak penggalian lama yang tertutup lahar dan tanah setebal tiga meter mulai terlihat. Salah satu titik utama yang diteliti adalah area Kedaton, yang sebelumnya menjadi lahan tebu di era kolonial. Di kawasan ini ditemukan sisa-sisa tembok berbentuk persegi yang diduga sebagai bagian dari istana.
Menurut catatan Vistarini (1930), tembok ini membentang sepanjang 250 meter dari timur ke barat, dengan salah satu bagian berada di dekat situs makam Panggung. Penelitian lebih lanjut dari Bakosurtanal (1983) dan Maclaine Pont (1926) memperkuat dugaan bahwa ini adalah lokasi utama Keraton Majapahit.
Catatan Negarakretagama dan Ma Huan
Deskripsi tentang Keraton Majapahit banyak merujuk pada Negarakretagama, yang disusun oleh Mpu Prapanca pada 1365. Dalam naskah ini, Prapanca menggambarkan denah keraton secara rinci, termasuk gerbang-gerbang utama, alun-alun, dan barak. Namun, hanya sekitar 40 persen wilayah keraton yang tercatat di dalamnya. Sisanya, termasuk area untuk kerabat kerajaan dan abdi dalem, masih menjadi misteri.
Selain itu, catatan Ma Huan, seorang penulis Tiongkok dari ekspedisi Laksamana Cheng Ho, menambah wawasan tentang istana ini.
Menurutnya, keraton dikelilingi tembok setinggi 9,4 meter dengan dua lapis pintu gerbang yang dijaga ketat. Ia menggambarkan keraton sebagai tempat yang bersih, terorganisir, dan memiliki suasana yang megah.
Tantangan Penelitian Masa Lalu
Stutterheim, dalam rekonstruksinya, berargumen bahwa Keraton Majapahit menjadi inspirasi bagi arsitektur Keraton Yogyakarta dan Puri Klungkung. Namun, ia enggan mempublikasikan sumber tambahan yang memperkuat argumennya. Situasi geopolitik saat itu, di mana Hindia Belanda berada di bawah ancaman Jepang, mungkin memaksanya merahasiakan sebagian besar penemuannya.
Menyibak Rahasia yang Tertimbun
Penelitian mutakhir mengungkap bahwa lokasi Keraton Majapahit tak hanya mencakup wilayah pusat istana, tetapi juga kawasan tempat tinggal penduduk yang mencapai 400 hingga 700 orang.
Kombinasi arkeologi berbasis teks, teknologi GIS, dan perbandingan sejarah memberikan harapan baru untuk mengungkap lebih banyak rahasia Majapahit yang terkubur.
Upaya menemukan kembali kebesaran Keraton Majapahit tidak hanya menjadi tantangan bagi para arkeolog, tetapi juga cermin tentang bagaimana sejarah kita kerap terselubung oleh peristiwa masa lalu yang penuh gejolak. Kini, jejak yang hilang itu perlahan kembali ke permukaan, menyambungkan potongan-potongan kisah yang selama ini terpecah. [Benhil Online]