Saat berbicara tentang bela diri khas Indonesia, pencak silat sering menjadi sorotan utama. Namun, tahukah Anda bahwa Bali memiliki tradisi bela diri yang tak kalah menarik? Namanya adalah Mepantigan, seni bela diri unik yang berakar kuat pada budaya Pulau Dewata.
Gulat Lumpur dengan Sentuhan Tradisional
Mepantigan, yang dalam bahasa Bali berarti “saling membanting,” adalah seni bela diri yang menyerupai gulat. Keunikan tradisi ini terletak pada arena pertandingannya: bukan di atas matras, melainkan di atas lumpur.
Para peserta bertanding satu lawan satu dengan teknik bantingan dan kuncian untuk mengalahkan lawan. Meskipun sekilas mirip dengan gulat lumpur dari Thailand, Mepantigan memiliki ciri khas yang membedakannya.
Lebih dari sekadar olahraga fisik, Mepantigan dipadukan dengan elemen budaya tradisional Bali. Misalnya, pertandingan diiringi alunan musik gamelan baleganjur yang menambah semangat para peserta. Sebelum dan sesudah bertanding, peserta melakukan penghormatan kepada patung Dewi Sri, simbol kesuburan dalam kepercayaan Hindu Bali.
Sejarah Panjang di Balik Tradisi
Tradisi Mepantigan bermula pada tahun 1930-an. Seorang praktisi taekwondo, I Putu Winset Widjaya, terinspirasi untuk menciptakan seni bela diri ini setelah berlatih bersama pendekar pencak silat Bali. Ia menggabungkan teknik-teknik bela diri yang ia pelajari dengan elemen lokal, menghasilkan Mepantigan seperti yang dikenal saat ini.
Baca juga: Candi Lumbung, Kembali ke Pelukan Desa Sengi
Yang menarik, alat pengukur waktu pertandingan pun menggunakan bambu berisi air. Ketika air dalam bambu habis, pertandingan dinyatakan selesai. Detail ini menunjukkan bagaimana tradisi ini benar-benar mengakar pada nilai-nilai dan kreativitas lokal.
Filosofi di Balik Pertarungan
Tujuan utama Mepantigan bukanlah semata-mata kemenangan. Tradisi ini dirancang untuk menanamkan nilai-nilai belas kasih dan rasa hormat terhadap lawan. Hal ini menjadi cara untuk meredam konflik dan kekerasan di masyarakat Bali. Oleh karena itu, baik penduduk lokal maupun wisatawan dari berbagai penjuru dunia diajak untuk ikut serta dan merasakan esensi tradisi ini.
Tempat dan Kesempatan Menikmati Mepantigan
Mepantigan sering digelar di kawasan Batubulan dan Ubud, dua daerah yang terkenal dengan daya tarik budaya dan keindahan alamnya. Di Batubulan, Anda bisa menemukan seni ini bersanding dengan keahlian lokal seperti pembuatan patung batu padas dan tari Barong.
Sementara itu, Ubud yang dikenal dengan panorama sawah terasering menjadi lokasi ideal untuk menyelenggarakan Mepantigan di area persawahannya.
Tak hanya sebagai tontonan, tradisi ini juga bisa diikuti oleh wisatawan. Beberapa hotel di Ubud bahkan pernah rutin menggelar acara ini setiap minggu, memungkinkan para tamu untuk belajar dan merasakan pengalaman langsung.
Unsur Tradisional yang Melekat
Saat bertanding, peserta biasanya mengenakan pakaian khas Bali seperti kamen (kain lilit), udeng (ikat kepala), dan pakaian tradisional lainnya. Kombinasi ini mempertegas identitas budaya Bali yang melekat pada tradisi Mepantigan.
Walaupun lebih didominasi oleh laki-laki, perempuan juga bisa berpartisipasi dalam tradisi ini.
Pengalaman yang Tak Terlupakan
Setiap pertandingan berlangsung dua ronde, masing-masing selama tiga menit, dengan wasit dan juri yang mengawasi jalannya pertarungan. Lokasi pertandingan biasanya dipilih dengan mempertimbangkan faktor keamanan, seperti sawah atau pantai yang berlumpur.
Mepantigan bukan sekadar olahraga; ini adalah perpaduan antara seni, budaya, dan filosofi hidup Bali. Jadi, jika Anda berkesempatan mengunjungi Bali, jangan lewatkan kesempatan untuk menyaksikan atau bahkan mencoba tradisi ini.
Mepantigan menawarkan pengalaman yang tidak hanya menghibur, tetapi juga memperkaya pemahaman Anda tentang budaya Bali yang begitu kaya. [Benhil Online]