Lontar, Pohon Kehidupan di NTT yang Penuh Keajaiban

Pohon lontar

Pohon Lontar (Borassus flabellifer Linn), sejenis palem yang mampu tumbuh hingga ketinggian 10–30 meter, dikenal sebagai tanaman yang membawa banyak manfaat. Tumbuhan ini berasal dari India dan Srilanka, lalu menyebar ke Arab Saudi hingga Asia Tenggara, termasuk Indonesia. 

Di tanah air, lontar dapat ditemukan di berbagai daerah seperti pesisir Sumatera, Jawa, Bali, Sulawesi, Maluku, Papua, dan paling banyak di Nusa Tenggara Timur (NTT). Bahkan, di Sulawesi Selatan, pohon ini diabadikan sebagai lambang provinsi.

Lontar dalam Perjalanan Sejarah

Daun lontar yang berbentuk kipas lebar (1–3 meter) memainkan peran penting dalam dokumentasi sejarah. Di masa lalu, daun ini digunakan sebagai media tulis untuk mencatat berbagai hal, termasuk dokumen resmi oleh penghulu Suku Sasak hingga abad ke-19. Nama “lontar” sendiri kemungkinan berasal dari kata “rontal” yang berarti daun tal, yang pelafalannya kemudian disederhanakan.

Di berbagai daerah, lontar memiliki sebutan lokal seperti siwalan atau rontal di Jawa, kepuwe duwe di Pulau Sabu, tua di Rote, dan uga di Papua. Pohon ini tidak hanya dikenal karena keindahannya tetapi juga karena manfaatnya yang beragam.

Manfaat Luar Biasa Pohon Lontar

Hampir seluruh bagian pohon lontar dapat dimanfaatkan. Air nira yang dihasilkan oleh tandan buah lontar mengandung gula alami, protein, vitamin C, dan vitamin B1. 


Selain itu, di NTT, batang lontar sering digunakan sebagai tiang rumah, pelepahnya dijadikan pagar, dan daunnya menjadi atap rumah atau bahan kerajinan khas seperti alat musik sasando dan topi ti’ilangga.

Tandan buah lontar muda memiliki rasa seperti kelapa muda, sementara tandan buah tua disadap untuk menghasilkan air nira yang manis. Air ini, yang dikenal sebagai legen di Jawa, diolah menjadi berbagai produk seperti gula aren, gula semut, gula lempeng, hingga minuman fermentasi seperti tuak atau sopi.

Lontar: Penyelamat Kehidupan di Tengah Kekeringan

NTT, yang terbentuk sebagai provinsi pada tahun 1958, merupakan wilayah yang sebagian besar terdiri dari lahan kering. Dengan curah hujan yang hanya berlangsung dua bulan dalam setahun, masyarakat di pulau-pulau kecil seperti Sabu dan Rote menghadapi tantangan hidup yang berat. Kondisi ini membuat pohon lontar menjadi sumber kehidupan utama.

Selama 10 bulan musim kemarau, yang oleh penduduk lokal disebut “musim lapar,” air nira lontar menjadi penyelamat. Banyak warga, seperti Yanis Pellondow dari Rote Ndao, mengandalkan air gula lontar sebagai pengganti makanan. Sarapan dua gelas air gula lontar sudah cukup memberi energi untuk bekerja seharian.

Proses Panjang Penyadapan dan Pengolahan

Penyadapan lontar menjadi kegiatan utama banyak kepala keluarga di Sabu dan Rote. Setiap hari, seorang penyadap dapat mengelola 15–30 pohon, menghasilkan hingga 100 liter air nira. Air ini kemudian diolah oleh para ibu menjadi gula lempeng atau gula cair. 


Proses memasak air nira membutuhkan waktu 4 jam, menghasilkan gula yang bernilai ekonomi tinggi. Gula cair, misalnya, dijual dengan harga mulai Rp60 ribu per jirigen 5 liter di tingkat lokal hingga Rp150 ribu di tingkat pengecer.

Pohon al-Hayat: Simbol Keajaiban dan Kehidupan

Meski tidak membuat masyarakatnya kaya raya, lontar memberikan kehidupan yang lebih dari cukup. Dengan segala manfaatnya, pohon ini telah menjadi simbol keajaiban di tengah kondisi alam yang keras. 

Bagi masyarakat NTT, lontar bukan sekadar tanaman, melainkan pohon kehidupan — al-hayat — yang memelihara dan melestarikan kehidupan mereka selama berabad-abad. [Benhil Online]
Previous Post Next Post

Contact Form