Lima Kesatria Pandawa di Jantung Istana Cipanas

Istana Cipanas

Istana Cipanas, salah satu warisan kolonial tertua di Indonesia, memancarkan keanggunan sejarah di lereng Gunung Gede, sekitar 1.100 meter di atas permukaan laut. Dibangun antara tahun 1740-1744, istana ini berdiri megah di tengah sejuknya udara pegunungan, menjadi saksi bisu perjalanan panjang zaman yang terus berubah. 

Teras depannya yang elegan, dihiasi tiang-tiang kayu putih ramping, memperkuat kesan klasik nan menawan. Letaknya yang strategis di jalur Bogor-Cianjur menjadikannya ikon yang memikat para pelancong di kawasan wisata Cipanas.

Sebagai salah satu bangunan tertua, Istana Cipanas memiliki usia yang lebih tua dibandingkan Istana Merdeka, Istana Negara, atau Istana Bogor. Walau istana asli Bogor hancur akibat gempa tahun 1834 dan harus dibangun ulang pada 1856, Istana Cipanas tetap kokoh berdiri, setara dalam usia dengan Gedung Arsip Nasional di Jakarta yang juga dibangun pada pertengahan abad ke-18.

Awalnya, Istana Cipanas dibangun sebagai vila pribadi milik Van Heots, seorang saudagar terkemuka Batavia, sebelum diambil alih oleh Gubernur Jenderal VOC, Gustaaf Willem van Imhoff. Van Imhoff, yang memiliki selera arsitektur tinggi, menjadikan vila ini pendamping sempurna bagi vila di Bogor, terinspirasi dari Istana Blenheim, kediaman Duke of Marlborough di Oxford, Inggris. Keberadaan kedua vila ini menandai ekspansi VOC ke pedalaman Jawa, memanfaatkan kekayaan ekologis wilayah pegunungan.

Kehadiran istana ini bukan hanya sebagai tempat peristirahatan para Gubernur Jenderal. Wilayah dataran rendah di sekitar Tangerang hingga Karawang kurang cocok untuk tanaman kopi Arabika dan teh, sehingga kebun-kebun di Cianjur dan Priangan diandalkan untuk produksi kopi yang semakin diminati di pasar Eropa. Pada abad ke-18, VOC sukses mengirimkan ribuan ton kopi dari pelabuhan Amsterdam, membuat nama “Kopi Java” tersohor.

Istana Cipanas berdiri di lahan miring seluas 26 hektar dengan taman seluas 7.700 meter persegi. Daya tarik lain dari istana ini adalah sumber air panas alami yang menjadi asal-usul nama “Cipanas” – berasal dari bahasa Sunda, ‘cai’ yang berarti air, dan ‘panas’.


Arsitektur bangunan induk mencakup perpaduan elemen Timur dan Barat, dengan ukiran khas Jawa dan Cina. Gedung ini memiliki teras di empat sisi, dan warna putih mendominasi mulai dari dinding hingga lantai marmernya. Renovasi besar tidak pernah dilakukan, membuat keaslian bangunan tetap terjaga.

Di dalam bangunan utama terdapat ruang tamu, kamar tidur, ruang kerja, ruang rias, dan ruang jamuan. Ruang tamu unik berbentuk panggung dengan lantai kayu, dan di dinding selasarnya masih tergantung lukisan karya Soejono DS tahun 1958 berjudul “Jalan Menuju Kaliurang”, yang dikenal juga sebagai “Jalan Seribu Pandang” karena perspektifnya berubah-ubah.

Interiornya didominasi warna krem, kuning emas, dan kecoklatan, seirama dengan paviliun-paviliun yang dibangun kemudian. Tiga paviliun berdiri sejak 1916, sementara “Gedung Bentol” seluas 45 meter persegi dibangun pada 1954 di era Presiden Soekarno sebagai ruang membaca dan menulis beliau. Dua paviliun tambahan didirikan pada 1983 di masa Presiden Soeharto.

Setelah VOC bubar tahun 1799, Istana Cipanas menjadi milik pemerintah Hindia Belanda sebelum diambil alih Indonesia tahun 1950. Presiden Soekarno menamai tiga paviliun awal dengan nama Pandawa: Yudhistira, Bima, dan Arjuna. 

Gedung Bentol menjadi tambahan kreasi Bung Karno, sementara dua paviliun di era Soeharto dinamai Nakula dan Sadewa, melengkapi lima kesatria Pandawa.

Pada era Presiden Megawati, renovasi menyeluruh dilakukan, dan sebuah paviliun baru bernama Abimanyu, putra Arjuna, dibangun. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menambahkan koleksi taman herbal dengan 450 spesies tanaman obat khas Indonesia.


Saat ini, kompleks Istana Cipanas memiliki 22 bangunan termasuk dua kolam air panas. Namun, menurunnya aktivitas vulkanis Gunung Gede mengurangi suhu air panas dari 48 derajat pada 1950-an menjadi sekitar 35 derajat Celsius.

Istana Cipanas tak hanya menyimpan kisah arsitektur dan kolonialisme, namun juga kekayaan alam, sejarah, dan kebudayaan yang menjadikannya peninggalan yang tak ternilai di negeri ini. [Benhil Online]
Previous Post Next Post

Contact Form