Jokowi dan Tantangan Demokrasi Indonesia

Jokowi

Oleh: Saiful Huda Ems (SHE) Lawyer dan Petarung Politik

Ketegangan politik di Indonesia tampaknya tak kunjung reda. Sumber utama kegaduhan ini tak lain adalah tindakan Presiden Joko Widodo (Jokowi), yang dinilai sering melampaui batas etika dan moral dalam hukum negara. 

Di tengah masyarakat Jawa, muncul istilah populer: "Negoro arep diuntal dewe"—sebuah ungkapan yang mencerminkan keprihatinan terhadap gaya politik Jokowi.

Sejak menjabat sebagai Presiden, hingga kini ketika anaknya, Gibran Rakabuming Raka, menjabat sebagai Wakil Presiden, Jokowi terus terlibat dalam dinamika politik nasional, bahkan hingga level Pilkada. 

Meski tindakan ini tidak melanggar undang-undang, banyak pihak menganggapnya mencederai moral dan tatanan demokrasi.

Keterlibatan Jokowi dalam politik Pilkada, di mana terdapat hubungan darah dengan sang Wapres, berisiko menciptakan abuse of power.


Sementara sebagian besar masyarakat mungkin belum menyadari implikasinya, pepatah Jawa, "Becik ketitik olo ketoro"—perbuatan baik maupun buruk pasti akan terlihat, mengingatkan kita bahwa waktu akan membuktikan segalanya.

Sebagai pemimpin yang berasal dari Jawa, Jokowi seharusnya memahami nilai-nilai seperti "Ngunduh wohing pakarti" (menuai hasil dari perbuatan), atau "Eling lan waspada" (sadar dan waspada sebagai kunci kebijaksanaan). Namun, Jokowi justru dianggap menjauh dari falsafah tersebut, bahkan muncul ungkapan baru: "Jokowi ora Njawani"—Jokowi tidak lagi mencerminkan nilai-nilai kejawaan.

Tindakan Jokowi kini digambarkan sebagai ambisi yang tak mengenal batas. Seperti kacang lupa kulitnya, ia dianggap mengingkari asal-usul serta janji-janjinya. Sikap yang berubah-ubah—pagi berkata A, sore berkata B—menunjukkan inkonsistensi yang mencederai kepercayaan rakyat.

Kerusakan Tatanan Demokrasi

Konteks permasalahan kini melampaui Pilkada semata. Kita menghadapi ancaman besar terhadap tatanan demokrasi, negara hukum, hingga nilai-nilai kehidupan berbangsa. Ambisi politik Jokowi disebut sebagai akar dari kerusakan ini.

Mengapa Jokowi begitu percaya diri? Setidaknya ada tiga alasan:

1. Ambisi Kekuasaan: Dengan Gibran sebagai Wapres, ambisi Jokowi tampaknya belum terpenuhi.

2. Kontrol atas Hukum: Aparat yang seharusnya netral dianggap telah menjadi alat politik.

3. Penguasaan Logistik: Dengan kendali atas sumber daya, Jokowi memperkuat posisinya dalam politik.


Sejarah mengajarkan bahwa manusia secara alami menolak penindasan. Bung Karno pernah berkata, "Jangankan sebuah bangsa, cacing yang diinjak-injak pun akan melawan." Dengan langkah politik yang disebut brutal dan melanggar etika, Jokowi sering dibandingkan dengan tokoh-tokoh kontroversial seperti Hitler atau Pinokio dalam narasi politik.

Saatnya Rakyat Bergerak

Di tengah situasi ini, masyarakat dituntut mengambil sikap tegas. Salah satu langkah konkret adalah dengan tidak mendukung kandidat yang diusung Jokowi dalam Pilkada 2024. Ini bukan sekadar soal memilih pemimpin daerah, tetapi perjuangan untuk merebut kembali kedaulatan rakyat.

Beberapa alternatif pasangan calon yang didorong adalah:

Pramono Anung-Rano Karno untuk Jakarta,

Andika Perkasa-Hendi untuk Jawa Tengah,

Bu Risma-Gus Hans untuk Jawa Timur,

Edy Rahmayadi-Hasan untuk Sumatera Utara.

Masyarakat diminta untuk tidak memberi ruang bagi kandidat yang didukung Jokowi. Pilihan ini dianggap sebagai bentuk perlawanan terhadap dominasi yang dinilai mencederai demokrasi. Merdeka! [Benhil Online]

Previous Post Next Post

Contact Form