Jika Anda berkunjung ke Danau Toba, Sumatera Utara, sempatkanlah menyeberang ke Pulau Samosir untuk menyelami budaya Batak di Huta Siallagan. Desa yang terletak di wilayah ini bukan sekadar perkampungan biasa, melainkan saksi bisu tradisi dan hukum adat Batak yang pernah mengguncang sejarah.
Memasuki desa ini, Anda akan disambut patung selamat datang dengan ukiran aksara Batak, sebagai pengantar ke dalam keunikan budaya yang masih terjaga.
Huta Siallagan dan Warisan Budaya Batak
Dalam bahasa Batak, "huta" berarti kampung, sementara "Siallagan" merujuk pada nama Raja Siallagan, pemimpin awal kampung ini. Huta Siallagan didirikan oleh keluarga bermarga Siallagan dan menjadi pusat pemerintahan kecil yang kaya akan nilai tradisi.
Deretan rumah adat Batak, yang dikenal sebagai rumah bolon, berdiri megah di sini. Terdapat delapan unit rumah yang berusia ratusan tahun, masing-masing memiliki fungsi berbeda, dari tempat tinggal raja hingga lokasi pemasungan.
Setiap rumah dihiasi ornamen unik seperti jaga dompak (topeng berwajah seram), singa-singa (patung kepala singa), patung cicak, hingga simbol payudara. Ornamen ini bukan sekadar hiasan, melainkan sarat makna filosofis. Misalnya, jaga dompak dan singa-singa dipercaya mampu menangkal roh jahat, sedangkan cicak, yang disebut boraspati, melambangkan kemampuan beradaptasi di berbagai kondisi.
Simbol payudara mengingatkan orang Batak untuk selalu berbagi rezeki dan tidak melupakan kampung halaman, seperti dijelaskan oleh Jansen Sitinjak, pemandu wisata setempat.
Batu Parsidangan: Saksi Bisu Keadilan Adat Batak
Daya tarik utama Huta Siallagan adalah Batu Parsidangan, sebuah situs kuno berupa meja dan kursi batu yang menjadi tempat persidangan adat. Di sinilah dahulu para pelaku kejahatan seperti pencurian, pembunuhan, hingga mata-mata musuh diadili. Hukuman diberikan berdasarkan tingkat kejahatan, mulai dari pemasungan hingga eksekusi pancung yang penuh ritual magis.
Proses eksekusi diatur secara dramatis dan sarat simbolisme. Setelah menentukan hari baik melalui Manitiari—primbon ala Batak—penjahat akan dibawa ke meja batu dengan mata tertutup kain ulos. Mereka diberi ramuan oleh dukun untuk melemahkan ilmu hitam yang mungkin dimiliki.
Tongkat sakti Tunggal Panaluan kemudian digunakan untuk menyerang kekebalan tubuh pelaku, disusul penyayatan tubuh dan penyiraman air asam hingga pelaku benar-benar lemah. Barulah eksekusi pancung dilakukan.
Namun, hal yang paling menyeramkan adalah ritual setelah eksekusi. Konon, jantung dan hati pelaku dimakan untuk memperkuat kekuasaan raja. Kepala pelaku dipajang di gerbang desa sebagai peringatan, sementara tubuhnya dibuang ke Danau Toba.
Tradisi ini membawa ketegangan tersendiri, karena warga dilarang beraktivitas di danau selama tujuh hari dan di hutan selama tiga hari setelah kepala pelaku dibuang.
Akhir dari Tradisi Kanibal
Kisah kelam ini perlahan menghilang di abad ke-19, seiring masuknya agama Kristen yang dibawa oleh misionaris Jerman, Ludwig Ingwer Nommensen. Tradisi adat yang keras itu ditinggalkan, digantikan dengan nilai-nilai baru yang lebih humanis.
Huta Siallagan Kini
Hari ini, Huta Siallagan telah menjelma menjadi desa wisata yang ramai dikunjungi pelancong. Meski cerita masa lalunya begitu menyeramkan, desa ini kini memancarkan pesona budaya yang memikat.
Pengunjung dapat membeli suvenir khas seperti kain ulos, gantungan kunci, dan pernak-pernik lainnya di kios-kios yang berada di ujung desa.
Huta Siallagan tidak hanya menawarkan sejarah, tetapi juga mengajarkan makna tentang kebijaksanaan tradisi dan perubahan. Desa ini adalah pintu gerbang bagi siapa pun yang ingin memahami lebih dalam kekayaan budaya Batak yang begitu memukau. [Benhil Online]