Coto Makassar, Kuliner Raja-raja dari Sulawesi Selatan

Coto Makassar

Sulawesi Selatan, dengan ibukotanya Makassar, bukan hanya dikenal karena kekayaan budaya dan sejarahnya, tetapi juga karena ragam kulinernya yang menggoda selera. Sebut saja pisang epe yang manis legit, es pisang ijo yang segar, hingga hidangan khas seperti pallubasa dan pallumara. 

Namun, di antara semua sajian khas tersebut, coto Makassar menempati posisi istimewa sebagai salah satu ikon kuliner yang tak hanya digemari masyarakat lokal tetapi juga telah mengharumkan nama Indonesia di kancah internasional.

Coto Makassar bukan sekadar hidangan berkuah daging biasa. Kuliner ini pernah mengukir prestasi sebagai Juara Pertama Festival Kuliner “Pesta Juadah 2011” yang diselenggarakan oleh Universitas Kebangsaan Malaysia. 

Hidangan yang kaya rasa ini berhasil menyisihkan puluhan peserta dari berbagai negara, membuktikan keunggulan rasa dan kekayaan budaya yang terkandung di dalamnya.

Warisan Kerajaan Gowa

Mengulas sejarahnya, coto Makassar sudah dikenal sejak zaman Kerajaan Gowa-Tallo pada abad ke-16. Sebagai sajian favorit keluarga istana, coto sering dihidangkan dalam acara-acara kerajaan.


Tak heran jika kuliner ini identik dengan nuansa eksklusif dan penuh tradisi. Diperkirakan, hidangan ini mendapatkan pengaruh dari kuliner Cina, terutama melalui penggunaan tauco sebagai bahan sambalnya.

Uniknya, resep coto Makassar mengandalkan bumbu patang pulo—racikan 40 jenis rempah Nusantara seperti kemiri, lengkuas, ketumbar, kayu manis, hingga jintan. 

Proses memasaknya pun terbilang spesial karena secara tradisional menggunakan kuali tanah liat yang disebut korong butta, memberikan aroma khas dan rasa yang lebih kaya.

Jejak Akulturasi dalam Setiap Sendok

Makassar, yang sejak abad ke-14 menjadi pelabuhan strategis, menjadi tempat persinggahan pedagang dari Spanyol, Portugis, India, Cina, hingga Arab. Interaksi ini turut memengaruhi ragam kuliner lokal, termasuk coto. 

Pengaruh Arab dan India terasa melalui penggunaan santan yang dipadukan dengan susu, menghasilkan kuah yang gurih. Sementara, sentuhan Cina terlihat pada hidangan pencuci mulut serta bumbu-bumbu seperti tauco.


Bahkan penggunaan rempah-rempah khas seperti pala, merica, dan kayu manis menunjukkan pengaruh kuat dari budaya Timur Tengah. Coto Makassar menjadi bukti nyata bagaimana akulturasi budaya melahirkan cita rasa yang unik dan kaya.

Kaya Nutrisi, Tetap Aman

Bagi Anda yang khawatir dengan kandungan kolesterol dari daging sapi dan jeroan seperti hati, limpa, dan babat, tak perlu cemas. Kombinasi rempah dalam coto Makassar tidak hanya memperkaya rasa tetapi juga membantu menetralkan efek negatif dari bahan-bahan tersebut. 

Lebih dari itu, menurut penelitian yang dilakukan Puji Utami dkk., satu porsi coto Makassar mampu memenuhi hingga 70% kebutuhan gizi harian, menjadikannya sajian yang bergizi dan mengenyangkan.

Untuk menghasilkan tekstur daging yang empuk dan mudah dikunyah, para juru masak tradisional sering menambahkan pepaya muda saat proses pemasakan. Teknik ini memberikan kelembutan sempurna pada daging tanpa mengurangi cita rasa aslinya.

Tradisi Menikmati Coto

Berbeda dengan hidangan lainnya, coto Makassar memiliki waktu khusus untuk disantap. Biasanya, coto disajikan sebagai makanan selingan di antara waktu sarapan dan makan siang, yakni pukul 09.00 hingga 11.00 pagi. Penyajiannya juga khas: dalam mangkuk kecil dengan sendok bebek, ditemani ketupat atau burasa—ketupat khas yang dibungkus daun pisang—serta sambal tauco untuk menambah cita rasa.

Coto Makassar bukan hanya sekadar makanan, tetapi juga cerminan perjalanan sejarah dan budaya Makassar. Setiap sendoknya mengandung cerita panjang tentang kerajaan, akulturasi, hingga kejayaan pelabuhan Makassar sebagai pintu gerbang Nusantara. Jika Anda belum pernah mencicipinya, coto Makassar adalah alasan kuat untuk segera menjelajahi kelezatan kuliner Sulawesi Selatan. [Benhil Online]
Previous Post Next Post

Contact Form