Cerita Uang Kepeng di Balik Sesaji Bali yang Sakral

Uang Kepeng Bali.

Bali menyimpan sejarah panjang yang menghubungkan budaya lokalnya dengan pengaruh Tiongkok. Hubungan ini tampak jelas dalam berbagai aspek kehidupan, mulai dari seni hingga praktik keagamaan, seperti penggunaan uang kepeng dalam sesaji dan tarian tradisional yang mencerminkan nuansa Tiongkok.

Uang Kepeng sebagai Elemen Sakral Sesaji

Dalam setiap sesaji adat Bali, kehadiran uang kepeng adalah hal yang lumrah. Uang kepeng ini memiliki ciri khas berupa bentuk bulat dengan lubang di tengah, yang di Bali dikenal dengan sebutan pis kopong. 

Material yang digunakan untuk membuat pis kopong bervariasi, dari logam serupa bahan gamelan hingga kuningan atau perunggu. Beberapa keping memiliki tulisan huruf Tiongkok, sementara lainnya hanya menampilkan gambar.

Penggunaan uang kepeng ini tidak lepas dari sejarah pengaruh Tiongkok terhadap Bali. Sumber-sumber sejarah mencatat bahwa interaksi masyarakat Bali dengan bangsa luar, termasuk pedagang Tiongkok, telah berlangsung sejak periode klasik pertengahan, sekitar abad ke-9 hingga ke-13 Masehi. 

Bahkan, jauh sebelum Bali ditaklukkan oleh Majapahit di bawah Patih Gajah Mada pada 1343 M, perdagangan antara Bali dan Tiongkok sudah aktif.


Ciri-ciri uang kepeng juga memberikan petunjuk tentang periode asalnya. Kepingan tertua yang ditemukan di Bali berasal dari Dinasti Tang (abad ke-7 hingga ke-9 M), meskipun sebagian besar adalah peninggalan dari Dinasti Ming (1368-1644 M) dan Dinasti Qing (1644-1911 M). 

Selain menjadi pelengkap upacara keagamaan, uang kepeng dulunya juga berfungsi sebagai alat tukar sah hingga masa kolonial Belanda, meskipun sempat dilarang oleh pemerintah kolonial pada awal abad ke-20.

Hingga kini, uang kepeng masih digunakan dalam upacara-upacara besar di pura, meski untuk sesaji harian masyarakat kini lebih sering menggunakan uang rupiah atau pis kopong hasil cetakan modern.

Tari Baris China: Simbol Kesiapsiagaan Prajurit

Warisan pengaruh Tiongkok juga terlihat dalam seni tari Bali, salah satunya Tari Baris China. Tarian ini adalah tarian sakral yang ditampilkan pada piodalan di Pura Khayangan Tiga Desa Adat Renon, serta pura-pura terkait seperti Pura Sanur dan Pura Sakenan. Tarian ini menggambarkan kesiapsiagaan prajurit di masa pemerintahan Dinasti Marwadewa yang menghadapi serangan musuh.

Uniknya, gerakan Tari Baris China berbeda dari pakem tari Bali pada umumnya. Gerakannya menyerupai baris-berbaris dengan sentuhan gerakan silat, dibawakan oleh 18 penari pria dalam dua barisan yang masing-masing terdiri dari sembilan orang. 

Pakaian mereka pun istimewa: satu baris mengenakan baju putih dan yang lain baju hitam, dengan topi ala Eropa dan selempang poleng yang menambah nuansa Bali.


Pengiring tarian ini adalah instrumen khas seperti gong beri, yang memiliki bunyi sember dan kurang merdu dibanding gong bermoncol, serta sungu, alat musik tiup dari kerang. Suara gong beri yang dikenal berasal dari Tiongkok juga ditemukan di Thailand dan kerap digunakan dalam perayaan pernikahan.

Saat tarian mencapai puncaknya, para penari sering mengalami trance atau kesurupan, sambil memegang pedang Tiongkok dan terkadang melafalkan kata-kata dalam bahasa Tionghoa. Ini menambah kesan sakral dan keunikan Tari Baris China sebagai simbol kesiapsiagaan.

Kesenian Barong Landung: Kisah Cinta dan Kutukan

Selain Tari Baris China, kesenian Barong Landung juga menunjukkan pengaruh budaya Tiongkok di Bali. Barong Landung merupakan patung raksasa yang berwujud manusia, bukan binatang seperti barong pada umumnya. 

Terdapat dua tokoh utama dalam Barong Landung, yaitu pria dengan wajah hitam dan gigi besar yang mewakili Raja Sri Jaya Pangus, serta perempuan berwajah seperti wanita Tionghoa yang melambangkan Putri Kang Cing Wie dari Balingkang. Kisah mereka berakhir tragis akibat kutukan Bathari Danu, dewi penguasa Danau Batur.

Barong Landung sering dibawakan dalam lakon Arja yang menceritakan berbagai legenda dan mitos. Kesamaan budaya Hindu Bali dan kepercayaan Kong Hu Cu, seperti pemujaan leluhur dan penggunaan dupa serta air suci, menjadi bukti eratnya hubungan antara kedua budaya ini.

Jejak Akulturasi yang Mendalam

Akulturasi antara Bali dan Tiongkok menunjukkan perjalanan panjang mulai dari interaksi awal, integrasi budaya, hingga asimilasi yang sempurna. Saat ini, sisa-sisa pengaruh Tiongkok masih hidup dalam praktik keagamaan, seni, dan adat istiadat Bali, menjadikannya contoh nyata dari proses akulturasi yang harmonis dan berkelanjutan. [Benhil Online]
Previous Post Next Post

Contact Form