Gunung Merapi, gunung api paling aktif di Indonesia, terus menunjukkan keperkasaannya dengan letusan yang terjadi setiap 2-5 tahun sekali. Semburan material vulkanik dari perutnya tidak hanya mengancam keselamatan warga di sekitarnya, tetapi juga membawa banjir lahar dingin yang kerap menghancurkan infrastruktur, lahan pertanian, dan bangunan-bangunan bersejarah.
Salah satu korban dari kekuatan alam ini adalah Candi Lumbung, sebuah situs keagamaan Hindu yang berdiri megah sejak abad ke-9 Masehi di Desa Sengi, Kecamatan Sawangan, Kabupaten Magelang.
Namun, kisah Candi Lumbung bukan hanya tentang ancaman kehancuran. Ini adalah cerita tentang penyelamatan, dedikasi, dan pengembalian jati diri. Setelah sempat "mengungsi" selama 11 tahun ke Dusun Tlatar, Desa Krogowanan, kini Candi Lumbung kembali ke Desa Sengi, membawa semangat baru bagi masyarakat setempat.
Merapi dan Ancaman Lahar Dingin
Candi Lumbung, yang awalnya berdiri hanya tiga meter dari bibir Sungai Pabelan, menjadi korban erosi akibat banjir lahar dingin pasca-erupsi Merapi pada 2010. Posisi candi yang semula aman berubah menjadi genting ketika jaraknya dari tebing sungai hanya tersisa 50 sentimeter.
Meski upaya penyelamatan dengan membangun talut sempat dilakukan, kekuatan alam tak dapat dilawan. Untuk melindungi warisan sejarah ini, pada 2011 Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Tengah memutuskan untuk memindahkannya ke lokasi yang lebih aman.
Operasi Penyelamatan dan Keunikan Proses Pemindahan
Proses pemindahan Candi Lumbung ke Dusun Tlatar dilakukan dengan penuh kehati-hatian. Setiap batu candi dibongkar dan disusun ulang secara manual oleh para ahli arkeologi, dibantu oleh warga sekitar. Tak hanya itu, para pekerja juga menemukan fosil tulang belulang hewan herbivora di bawah fondasi candi, menambah nilai arkeologis situs tersebut.
Candi ini memiliki 32 lapisan batu dengan ruang dalam yang berfungsi sebagai tempat peribadatan. Fondasi setinggi 3,5 meter dilengkapi lubang resapan air, menunjukkan teknologi konstruksi yang canggih pada masanya. Meski sebagian batu asli hilang atau rusak akibat erosi dan bencana, sekitar 75 persen struktur asli tetap berhasil diselamatkan.
Kembalinya Candi Lumbung ke Desa Sengi
Pada 2023, setelah melewati pertimbangan matang, BPCB Jawa Tengah memutuskan untuk mengembalikan Candi Lumbung ke Desa Sengi. Lokasi baru yang dipilih berada lebih aman, dekat dengan Candi Asu, dan menempati tanah kas desa sehingga tidak memerlukan biaya sewa seperti di Tlatar. Proses pemindahan dilakukan dalam dua tahap, melibatkan sekitar 30 pekerja dan menggunakan peralatan sederhana berbahan kayu.
Ketua Tim Pemindahan, Eri Budiarto, mengungkapkan bahwa pemindahan ini tidak hanya memenuhi kebutuhan teknis, tetapi juga menjawab keinginan masyarakat Desa Sengi yang merindukan candi tersebut.
Pada 18 Oktober 2024, sebuah upacara keagamaan Hindu dipimpin oleh Ida Pedanda Gede Dwaja Tembuku dan pemuka agama lainnya untuk meresmikan kembalinya Candi Lumbung. Momen ini menjadi simbol kebangkitan warisan budaya dan keagamaan di wilayah tersebut.
Harapan Baru untuk Warisan Budaya
Kini, Candi Lumbung berdiri kokoh di lokasi barunya, berukuran 8,5 x 8,5 meter dengan tinggi mencapai 8 meter. Meski beberapa bagian masih menunggu penyempurnaan, kehadirannya kembali di Desa Sengi membawa harapan besar.
Selain menjadi tempat peribadatan, candi ini juga diharapkan menjadi daya tarik wisata budaya yang mendukung perekonomian masyarakat setempat.
Candi Lumbung bukan sekadar saksi bisu peradaban masa lampau, tetapi juga simbol perjuangan manusia melawan kekuatan alam untuk melestarikan sejarah.
Kini, dengan perlindungan yang lebih baik dan dukungan masyarakat, ia kembali menjadi bagian tak terpisahkan dari Desa Sengi, membawa cerita baru bagi generasi mendatang. [Benhil Online]