Tari topeng merupakan warisan budaya dari Cirebon, Jawa Barat, yang memikat hati dengan keindahan geraknya serta penuh simbolisme mendalam. Sesuai namanya, tarian ini selalu dipentaskan dengan menggunakan topeng atau kedok yang menjadi elemen utama.
Namun, tidak hanya gerakan yang memikat, setiap elemen dalam tarian ini, dari jenis hingga jumlah topeng serta gamelan pengiringnya, menyimpan makna filosofis yang kaya.
Makna filosofis tersebut tercermin dalam berbagai simbol, mulai dari kepemimpinan, cinta, hingga kebijaksanaan. Semua ini diungkapkan melalui bahasa tubuh yang indah dan berirama.
Selain di Cirebon, tradisi tari topeng juga berkembang di Subang, Indramayu, Majalengka, Jatibarang, hingga Brebes. Meski begitu, asal mula tarian ini masih menjadi misteri dengan berbagai versi cerita yang berkembang.
Salah satu kisah populer menyebutkan bahwa tari topeng pertama kali diciptakan pada masa Kerajaan Majapahit. Ketika kerajaan tersebut runtuh, Kesultanan Demak melestarikan seni ini, dan kemudian menyebarkannya ke Cirebon yang berada di bawah kekuasaan Demak saat itu.
Pada awalnya, tari topeng adalah kesenian eksklusif yang hanya dipentaskan di dalam Keraton. Namun, karena kesulitan ekonomi, raja-raja Cirebon tidak mampu lagi mendanai semua kesenian keraton. Akibatnya, para seniman tari dan penabuh gamelan mulai mencari nafkah di luar istana, sehingga tari topeng menyebar dan menjadi bagian dari kesenian rakyat di berbagai pelosok Cirebon.
Setelah masuknya Islam pada masa Sunan Gunung Jati sekitar tahun 1470, Cirebon menjadi pusat penyebaran agama Islam. Tari topeng pun digunakan sebagai media dakwah, berdampingan dengan seni pertunjukan lainnya untuk menyampaikan pesan agama.
Nilai Filosofis di Balik Setiap Gerakan
Tari topeng Cirebon dikenal dengan penggunaan lima jenis topeng yang disebut "Panca Wanda," yaitu topeng Kelana, Tumenggung, Rumyang, Samba, dan Panji. Setiap jenis topeng ini memiliki filosofi tersendiri yang melambangkan siklus kehidupan manusia.
Contohnya, topeng Panji yang berwarna putih melambangkan kesucian bayi yang baru lahir. Sementara topeng Samba, dengan karakter ceria dan lincah, menggambarkan masa kanak-kanak. Kemudian, masa dewasa diwakili oleh topeng Rumyang, yang gerakannya menunjukkan kedewasaan dan kemapanan.
Topeng Tumenggung mencerminkan kedewasaan yang matang dan bijaksana, sedangkan topeng Kelana menggambarkan amarah, keserakahan, dan kegagalan mengendalikan hawa nafsu, dengan gerakan tarinya yang energik dan penuh semangat.
Tarian ini dianggap sakral dan membutuhkan persiapan khusus. Para penari biasanya melakukan puasa, pantang, atau semedi sebelum pementasan, sebagai bentuk ritual untuk menghormati tradisi.
Ada pula kepercayaan yang mengharuskan adanya sesaji sebelum pertunjukan, seperti bedak, sisir, dan cermin sebagai simbol perempuan, serta cerutu dan rokok yang melambangkan lelaki. Bubur merah dan putih juga disajikan sebagai simbol manusia dan dunia atas.
Pesona Gerakan yang Mendunia
Keunikan tari topeng Cirebon terletak pada gerakan tangan yang anggun dan gemulai, diiringi musik gendang dan rebab yang merdu sepanjang pertunjukan. Awalnya hanya dipertunjukkan di acara-acara desa, kini tari topeng telah menembus batas-batas negara, tampil di panggung mancanegara seperti Eropa, Jepang, hingga Amerika Serikat.
Dengan perpaduan gerakan yang memesona, musik tradisional yang khas, dan nilai-nilai filosofis mendalam, tari topeng Cirebon bukan hanya sekadar hiburan, tetapi juga cerminan kekayaan budaya dan kearifan lokal yang terus hidup dan berdenyut dalam setiap pementasannya. [Benhil Online]