Oleh: Saiful Huda Ems
Situasi ekonomi Indonesia semakin suram. Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terjadi di berbagai sektor, dan saldo tabungan masyarakat merosot drastis, turun hingga 40%. Perekonomian yang dulu menggeliat kini seakan tertidur lelap. Daya beli masyarakat terjun bebas, dari Sabang hingga Merauke, semua merasakan dampaknya.
Pasar-pasar yang biasanya ramai pengunjung kini sepi bak kota mati, terutama di bulan Oktober ini. Para pedagang mengeluh, sementara para pengusaha dibebani pajak tinggi. Di sisi lain, calo-calo padi makin merajalela, memperparah kondisi petani yang sudah tertindas.
Tak hanya itu, demokrasi di negeri ini kian merosot. Pemilu yang seharusnya menjadi ajang pesta demokrasi justru penuh rekayasa. Aparatur negara, baik sipil maupun militer, ditekan untuk berpihak pada satu kubu politik. Institusi negara yang seharusnya netral justru dijadikan alat politik, saling dipertentangkan demi ambisi kekuasaan.
Lantas, apa yang dilakukan Presiden Jokowi selama ini? Masyarakat melihatnya sering membagikan kaos dan bantuan sosial di jalanan, berusaha mencitrakan diri sebagai pemimpin yang dicintai rakyat. Namun, apakah strategi ini efektif?
Baca juga: Eti Herawati Dorong Kemajuan Ekonomi Melalui Kampung Tematik, Komitmen Majukan Potensi Lokal
Ketika masa jabatan hampir berakhir, segala kepalsuan akhirnya akan terungkap. Citra yang dibangun dengan susah payah bisa runtuh dalam sekejap.
Proyek ambisius Ibu Kota Negara (IKN) baru kini terancam menjadi sekadar monumen kegagalan. Banyak yang memprediksi IKN hanya akan menjadi proyek mangkrak—sebuah simbol kesombongan dan egoisme seorang presiden yang terlalu mengagungkan dirinya sendiri.
Jokowi tampaknya enggan bertanggung jawab atas proyek ini, berdalih bahwa IKN bukan keputusannya, melainkan kehendak rakyat melalui DPR. Apakah ini bentuk kepemimpinan yang bertanggung jawab? Atau hanya sekadar upaya cuci tangan?
Jika IKN sukses, mungkin Jokowi akan dengan bangga mengklaim itu adalah ide briliannya. Namun, kini saat proyek ini terlihat akan gagal, narasinya berubah.
Dia mulai menghindar, kehilangan kepercayaan diri, dan mengatakan bahwa IKN bukanlah kehendak dirinya. Sikap ini memperlihatkan bahwa keberaniannya hanya di permukaan, sementara jiwanya jauh dari kesatria.
Baca juga: Suhendrik Sosialisasikan 21 Program Unggulan Paslon BERES, Sentuhan Inovatif untuk Warga Cirebon
Di akhir masa jabatannya, semua keberhasilan yang ia klaim ternyata kosong. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebesar Rp 3.600 triliun sebagian besar tergerus untuk membayar utang negara yang mencapai Rp 1.000 triliun.
Menurut Burhanuddin Abdullah, salah satu penasihat presiden terpilih Prabowo Subianto, kondisi ini akan mempersulit presiden berikutnya. Dengan sisa anggaran yang tak begitu besar, Rp 1.100 hingga Rp 1.200 triliun, tidak banyak yang bisa dilakukan untuk memperbaiki kondisi negara.
Jika situasinya seperti ini, apakah Jokowi layak mendapatkan pujian? Rasanya sangat sulit untuk memberi "Rapor Biru" kepada presiden ini, kecuali bagi mereka yang sudah diberi jabatan atau keuntungan politik. Bagi saya, Jokowi layak mendapatkan Rapor Merah. [Benhil Online]