Di pelosok Maluku, tepatnya di Desa Liang, Kecamatan Salahatu, dan Desa Mamala, Kecamatan Leihitu, Kabupaten Maluku Tengah, terdapat sebuah pertunjukan penuh nuansa mistis yang dikenal dengan nama "Bambu Gila."
Atraksi ini juga dapat ditemukan di Ternate dan wilayah sekitarnya di Maluku Utara, dan telah menjadi bagian dari kebudayaan masyarakat Maluku selama berabad-abad, jauh sebelum agama Nasrani dan Islam hadir di sana.
Legenda Bambu Gila konon berakar dari hutan bambu di kaki Gunung Gamalama, Ternate. Meski jejak sejarahnya tak terdokumentasikan secara jelas, kisah dan praktik pertunjukan ini terus diwariskan dari generasi ke generasi.
Sebelum atraksi dimulai, sebatang bambu pilihan, yang disebut "bambu suanggi," dipersiapkan dengan cermat. Bambu ini memiliki panjang sekitar 2,5 meter dengan diameter sekitar 8 sentimeter. Namun, pemilihan bambu tidak bisa sembarangan.
Prosesnya melibatkan ritual khusus yang dipimpin oleh para tetua adat. Mereka memohon izin dari roh-roh yang dipercaya mendiami hutan, lalu memotong bambu tersebut dengan mengikuti tradisi kuno. Bambu kemudian dibersihkan, dicuci dengan minyak kelapa, dan dihiasi kain di ujung-ujungnya.
Saat persiapan selesai, suasana magis semakin terasa ketika pawang mulai membakar kemenyan dalam tempurung kelapa. Asapnya melambung, sementara mantra dalam "bahasa tanah" yang merupakan bahasa tradisional Maluku dilantunkan. Kadang, jahe turut digunakan.
Jahe tersebut dikunyah oleh pawang dan disemburkan ke arah bambu setelah dibacakan mantra. Baik kemenyan maupun jahe berfungsi untuk memanggil kekuatan leluhur, memberikan energi mistis pada bambu hingga seolah-olah hidup dan menggila.
Ketika pawang mulai meneriakkan kata "gila, gila, gila," pertunjukan Bambu Gila pun dimulai. Iringan musik tradisional seperti tifa, genderang, dan gong, menambah suasana mencekam. P
Para pria yang memegang bambu akan merasakan getaran bambu yang semakin kuat dan sulit dikendalikan. Bambu tampak bergerak dengan sendirinya, berputar dan menari liar, sementara para pria berusaha sekuat tenaga untuk menahan dan mengontrolnya.
Dalam atraksi ini, intensitas meningkat seiring cepatnya irama musik. Bambu menjadi semakin berat, seakan-akan ada kekuatan tak terlihat yang memerintahkannya bergerak. Pertunjukan Bambu Gila biasanya berakhir dengan para pemain yang kelelahan, bahkan tak jarang jatuh pingsan di arena.
Ritual ini pun tidak langsung berhenti begitu saja; kekuatan mistis bambu perlu dinetralkan dengan "diberi makan" api, yaitu dengan membakar kertas dan menyentuhkannya ke bambu, agar roh yang hadir kembali tenang.
Hingga kini, Bambu Gila masih dimainkan dalam berbagai upacara adat, seperti pernikahan, hingga acara besar lainnya di Maluku. Walau zaman semakin modern, tradisi ini tetap dipertahankan sebagai wujud kekayaan budaya dan penghormatan terhadap leluhur.
Di tengah hiruk-pikuk kehidupan modern, Bambu Gila adalah simbol perlawanan terhadap pelupaan tradisi, menjaga warisan nenek moyang tetap hidup dalam denyut kehidupan masyarakat Maluku. [Benhil Online]