Menguak Keindahan Desa Adat Bena, Lorong Waktu di Flores

Desa Adat Bena

Di ketinggian 2.245 meter di atas permukaan laut, tersembunyi sebuah permata budaya yang dikenal sebagai Desa Adat Bena. Terletak di Desa Tiworiwu, Kecamatan Jerebu'u, Kabupaten Ngada, Nusa Tenggara Timur, kawasan ini dihuni oleh sembilan suku, yaitu Tizi Azi, Tizi Kae, Wato, Deru Lalulewa, Deru Solamai, Ngada, Khopa, Ago, dan suku Bena sebagai pendiri kampung.

Setiap pagi, kabut tebal menyelimuti desa, membawa hawa sejuk yang menusuk, namun tak mengurangi semangat anak-anak yang ceria bermain di pekarangan rumah mereka. Dari udara, kompleks rumah adat yang tertata rapi memanjang menyerupai kapal yang terdampar di ujung tebing, memberi kesan magis yang sulit dilupakan. 

Dikelilingi hutan bambu dan pohon beringin hijau, Gunung Inerie berdiri megah di kejauhan, mirip piramida yang seolah menjaga desa ini. Sementara itu, pemandangan pantai Flores yang memesona terlihat di sisi selatan, serta gemerlap Bukit Manulalu yang bagaikan lampu kunang-kunang di malam hari.

Jejak Sejarah Berabad-abad

Bena bukanlah desa biasa. Ia telah ada selama lebih dari 1.200 tahun, dan dikenal sebagai kampung para dewa. Desain tata ruangnya memiliki makna filosofis, dengan pintu masuk utama yang menghadap Gunung Inerie. Rumah-rumah di sini, berjumlah sekitar 45 unit, membentuk pola U yang ikonik. Dibuat dari kayu dengan atap tinggi dari alang-alang anyaman, bangunan ini mencerminkan keterhubungan mereka dengan alam. Seluruh material bangunan diambil dari alam sekitar, menjadikan desa ini seperti museum hidup yang mempertahankan tradisi dan menghormati alam.

Batu-batu alam menjadi fondasi rumah, sehingga permukiman ini memiliki kontur berundak-undak yang unik. Desa ini dihuni oleh 57 kepala keluarga dengan total sekitar 368 jiwa. Kehidupan sehari-hari di desa Bena masih sangat tradisional. 


Kaum lelaki mengurus kebun kakao, kemiri, dan cengkeh, sementara para perempuan sibuk menenun kain tradisional yang dijual sebagai cendera mata kepada wisatawan.

Lorong Waktu ke Zaman Megalitikum

Mengunjungi Bena seperti berjalan menembus lorong waktu ke masa lalu. Desa ini masih menyimpan peninggalan batu-batu besar dari era megalitikum, seperti Watu Lewa, batu lonjong yang digunakan untuk ritual adat, serta Nabe, batu lain yang berfungsi sebagai meja upacara. Di ujung utara kampung terdapat Turbupati, kursi batu yang hanya boleh diduduki oleh kepala suku untuk memecahkan masalah warga.

Ada pula sembilan nga'du dan bhaga, bangunan yang berdiri saling berhadapan di tengah kampung, melambangkan sembilan suku yang menghuni Bena. Nga'du adalah simbol leluhur laki-laki, berbentuk tiang kayu beratap ijuk yang menjulang, sedangkan bhaga, simbol leluhur perempuan, berbentuk miniatur rumah. Di depan rumah-rumah, tanduk kerbau, rahang, dan taring babi dipajang sebagai simbol status sosial, hasil dari hewan yang dikorbankan dalam upacara adat.

Lebih dari Sekadar Tempat Tinggal

Bagi masyarakat Bena, rumah adalah pusat kehidupan. Di sini, mereka berkumpul untuk berdiskusi, saling berbagi cerita, dan mengenang leluhur. Rumah bukan hanya tempat berlindung, tetapi juga simbol kebersamaan dan kekuatan budaya yang diwariskan dari generasi ke generasi.

Mudah Dijangkau, Siap Menyambut Wisatawan

Untuk mencapai Desa Bena, pengunjung dapat menyewa kendaraan dari Bajawa, sekitar 22 kilometer ke arah selatan. Jalur menuju Bena menantang dengan turunan dan tanjakan serta kelokan tajam, namun pemandangan indah yang tersaji di sepanjang perjalanan sungguh layak untuk dinikmati. Dari Labuan Bajo, perjalanan darat memakan waktu sekitar 7-8 jam.


Sejak pukul 8 pagi hingga 5 sore, desa ini siap menyambut pengunjung. Tiket masuk untuk wisatawan lokal adalah Rp20.000, sedangkan wisatawan mancanegara dikenakan Rp25.000. Sejak 2013, dana dari tiket masuk digunakan untuk merawat dan mengelola desa ini. Setiap wisatawan yang berkunjung akan disambut oleh tokoh adat dengan selendang tradisional sebagai simbol keramahan.

Desa Bena, dengan segala keunikan dan kekayaan budayanya, menawarkan perjalanan tak terlupakan. Berada di sini adalah seperti merasakan detak jantung masa lalu, menyelami kehidupan yang telah bertahan ratusan tahun, dan memahami arti sejati dari kearifan lokal. [Benhil Online]
Previous Post Next Post

Contact Form