Pilkada Majalengka 2024 diperkirakan akan menghadapi tantangan besar terkait potensi kerawanan sosial di masyarakat. Dengan hanya dua pasangan calon yang bertarung, yaitu Karna Sobahi-Koko Suyoko dan Eman Suherman-Dena M. Ramdhan, situasi politik di Majalengka bisa menjadi lebih rentan terhadap konflik sosial.
Menurut akademisi UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Fauzan Ali Rasyid, Pilkada dengan dua paslon memiliki tingkat kerawanan yang lebih tinggi karena persaingan cenderung lebih tajam, serta bisa menciptakan polarisasi yang berisiko memecah belah masyarakat.
Panelis pada Cawapres Pemilu 2024 ini menegaskan, ketegangan tidak hanya akan terjadi di antara para elit politik, tetapi juga meluas hingga ke akar rumput, jika tidak ada upaya preventif dari semua pihak yang terlibat.
"Untuk menghindari gesekan atau konflik sosial, elit parpol pengusung dua paslon, relawan, pemda, polisi, KPU, dan Bawaslu harus berperan aktif dalam mengedukasi masyarakat melalui adu gagasan, bukan adu hoaks," ujar Prof Fauzan usai menjadi narasumber dalam pelantikan HMI Cabang Majalengka di Gedung Nyai Rambut Kasih Majalengka, Selasa 3 September 2024.
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Bandung ini menuturkan bahwa elit politik, baik dari partai pengusung maupun relawan, memiliki peran penting dalam menjaga stabilitas sosial selama Pilkada. Mereka diharapkan dapat mengedukasi masyarakat melalui penyampaian gagasan yang konstruktif, bukan dengan menyebarkan informasi yang dapat memecah belah atau menyesatkan.
"Jika birokrasi, ASN, pemda, penyelenggara, dan pengawas tidak netral, itu hanya akan memancing konflik. Ketika ada birokrat yang menunjukkan keberpihakan, hal itu bisa memancing perlawanan dari pihak lain. Lalu, penggunaan aparatur negara secara tidak netral dapat memperburuk situasi dan memicu resistensi dari pihak lawan, yang pada akhirnya dapat memperbesar potensi konflik," kata guru besar ilmu politik ini.
Seiring dengan meningkatnya suhu politik di Majalengka, masyarakat diimbau untuk lebih obyektif dalam menilai rekam jejak para calon pemimpin. Pilkada bukan hanya soal memilih siapa yang akan memimpin daerah, tetapi juga tentang memastikan bahwa pemimpin terpilih memiliki kapasitas dan integritas untuk memajukan daerah. Masyarakat harus lebih kritis dalam menilai visi dan misi para calon, serta melihat apakah mereka memiliki rekam jejak yang jelas dalam memperjuangkan kepentingan publik.
"Calon pemimpin harus siap track record-nya dikuliti. Ini penting agar masyarakat tahu siapa yang benar-benar berjuang demi kepentingan mereka," tutur Fauzan.
Majalengka di Pusaran Internasionalisasi
Prof. Fauzan juga menyoroti potensi besar Majalengka untuk berkembang pesat berkat kehadiran Bandara Internasional Jawa Barat (BIJB) Kertajati dan kedekatannya dengan Pelabuhan Patimban di Subang. Menurutnya, Majalengka memiliki peluang besar untuk go international, dengan syarat pemimpin daerah harus memiliki visi internasional yang kuat. Dengan potensi ini, Majalengka dapat berkembang lebih cepat, dan harga barang-barang bisa lebih murah karena akses yang lebih mudah dan cepat.
Namun, jika pemimpin yang terpilih tidak memiliki visi yang jelas dan hanya menikmati kekuasaan tanpa berupaya mendorong perubahan, maka Majalengka akan tetap stagnan. Potensi besar yang dimiliki daerah ini bisa saja terabaikan, dan masyarakat tidak akan merasakan manfaat yang maksimal dari infrastruktur yang sudah ada.
"Majalengka sekarang punya peluang besar untuk go international, asal pemimpinnya punya visi internasionalisasi. Ini bisa membawa kemajuan pesat dan harga barang-barang lebih murah karena akses yang cepat," tegasnya.
Dinamika Pilkada Pasca Putusan MK
Terkait dengan dampak putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang pencalonan, Prof. Fauzan menyebut bahwa Pilkada tahun ini tidak seramai yang diperkirakan karena ada kecenderungan partai politik mengambil posisi aman dengan bergabung ke partai pemenang.
"Setelah putusan MK, banyak parpol yang lebih memilih bergabung dengan pemenang daripada mengusung calon sendiri. Akibatnya, dinamika Pilkada tidak lagi menunjukkan kompetisi yang seimbang," jelasnya.
Ia juga menyoroti ketidakmampuan partai politik non-parlemen dalam memanfaatkan putusan MK untuk mengusung calon sendiri.
"Mungkin parpol merasa waktu pendaftaran terlalu sempit, hanya tiga hari, sehingga tidak siap mengusung calon. Ini sangat disayangkan karena seharusnya parpol bertugas merekrut calon pemimpin yang berkualitas," ujarnya.
Menurut Prof. Fauzan, kondisi ini berpotensi membuat Pilkada hanya menjadi rutinitas belaka, tanpa memberikan pendidikan politik yang berarti bagi masyarakat.
"Pemilu atau Pilkada seharusnya menjadi ajang kompetisi ide dan gagasan. Namun, jika yang terjadi adalah calon dadakan dan ketidakseimbangan kompetisi, maka masyarakat tidak akan mendapatkan pendidikan politik yang baik," pungkasnya. [Benhil Online]