Oleh: Saiful Huda Ems
Pengamat Politik dan Praktisi Hukum
Jakarta tengah menghadapi pilihan yang tak mudah. Siapa yang akan mereka percayai untuk memimpin Ibu Kota tercinta—Ridwan Kamil, sosok yang dikenal dengan pesona dan kontroversinya, atau Pramono Anung, politisi kawakan dengan rekam jejak panjang?
Pertanyaan ini mengundang berbagai spekulasi, namun satu hal yang pasti, masa depan Jakarta kini berada di ujung tanduk.
Ridwan Kamil, pria yang akrab disapa RK, memiliki akar yang kuat dalam lingkungan religius dan intelektual. Ibunya, yang pernah menjadi dosen saya, adalah pribadi yang rendah hati dan cerdas.
Namun, apakah RK, yang kini bernaung di bawah Partai Golkar, benar-benar membawa nilai-nilai yang diajarkan ibunya? Atau, apakah ia hanya menjadikan Golkar sebagai alat politik belaka, sementara jiwanya tetap melekat pada partai asalnya, PKS?
Dalam beberapa kesempatan, RK tampak menunjukkan simpati terhadap sosok-sosok kontroversial, seperti HRS, terutama pada puncak kejayaan HRS di tahun 2016-2017.
Baca juga: Gaungkan Semangat Perubahan, Eti Herawati dan Suhendrik Resmi Daftar ke KPU dengan Batik Megamendung
Ini memunculkan pertanyaan besar, apakah RK benar-benar telah meninggalkan akar ideologisnya? Ataukah ia hanya bermain peran dalam panggung politik?
Di balik semua itu, tak bisa diabaikan bahwa RK memiliki sejarah kepemimpinan yang penuh dengan kontroversi. Saat menjadi Wali Kota Bandung dan Gubernur Jawa Barat, ia terlibat dalam berbagai proyek yang menuai kritik, seperti pembangunan Teras Cihampelas yang kini terbengkalai dan Masjid Al Jabbar yang kontroversial.
Banyak dana APBD yang dihambur-hamburkan tanpa hasil yang memuaskan. Hal ini memperkuat pandangan bahwa RK lebih ahli dalam pencitraan ketimbang realisasi.
Di sisi lain, Pramono Anung, seorang politisi senior dari PDIP, hadir sebagai sosok yang berpengalaman dan dipercaya oleh Megawati Soekarnoputri.
Dengan latar belakang yang kuat di dunia politik dan pemerintahan, serta kemampuan lobi politiknya yang diakui, Pramono menawarkan visi yang berbeda untuk Jakarta. Jika dia terpilih, Jakarta mungkin akan memasuki era baru yang lebih maju dan progresif.
Namun, bayangan Raja Lalim Mulyono terus menghantui perjalanan politik Pramono. Meskipun memiliki potensi besar untuk memajukan Jakarta, Pramono perlu memastikan bahwa ia tidak terjebak dalam permainan kekuasaan Mulyono.
Hanya dengan menjauhkan diri dari pengaruh negatif tersebut, Pramono dapat mewujudkan impiannya untuk mengembalikan harga diri warga Jakarta yang selama ini direnggut oleh tirani kekuasaan.
Pada akhirnya, pilihan ada di tangan warga Jakarta. Apakah mereka akan memilih RK, yang mungkin saja membawa pengaruh kekuatan lama, atau Pramono, yang menawarkan harapan baru namun harus berjuang melawan bayangan masa lalu?
Satu hal yang pasti, keputusan ini akan menentukan arah Jakarta ke depan—apakah menuju kebangkitan atau justru kembali terjerat dalam rantai kekuasaan yang mengekang.
Waktunya telah tiba bagi Jakarta untuk menentukan nasibnya, dan pilihan itu kini ada di tangan mereka. [Benhil Online]