Oleh: Saiful Huda Ems
Ketika debat calon wakil presiden tahun 2024 digelar, Gibran Rakabuming Raka, anak Presiden Jokowi, kerap menggemakan kampanye hilirisasi nikel. Ide ini memukau banyak orang, baik yang awam maupun yang ahli, karena dianggap dapat membawa Indonesia ke era kemajuan yang lebih cemerlang.
"Jokowi hebat, Gibran cerdas, mereka akan membawa Indonesia menuju masa depan gemilang," pikir banyak orang saat itu. Namun, ada sisi gelap yang perlu diungkap di balik kampanye ini.
Hilirisasi nikel, meskipun ide brilian, dapat menjadi kontroversial jika disertai kepentingan pribadi tersembunyi. Dalam persidangan kasus korupsi mantan Gubernur Maluku Utara, Abdul Gani Kasuba, di Pengadilan Negeri Ternate pada 1 Agustus 2024, terungkap bahwa anak dan menantu Presiden Jokowi, Kahiyang Ayu dan Bobby Nasution, diduga terlibat dalam bisnis tambang nikel yang mencurigakan di Halmahera.
Abdul Gani Kasuba mengungkap bahwa Kahiyang Ayu memiliki Izin Usaha Pertambangan (IUP) dengan kode "Blok Medan" yang digunakan untuk mempercepat proses izin tambang di Halmahera.
Istilah ini pertama kali muncul dalam persidangan kasus korupsi Kepala Dinas ESDM Maluku Utara, Suryanto Andini, pada 31 Juli 2024. Suryanto menyebut "Blok Medan" sebagai milik Bobby Nasution, yang kemudian diperjelas oleh Abdul Gani sebagai milik Kahiyang Ayu. Tambang tersebut diketahui berada di Halmahera Timur dan berfokus pada nikel.
Isu ini mengingatkan kita pada kampanye hilirisasi nikel yang gencar disuarakan Presiden Jokowi dan Gibran. Salah seorang jurnalis senior mengungkap dalam sebuah grup WhatsApp bahwa ada tuduhan ekspor nikel ilegal ke China sebanyak 5 juta ton yang diduga melibatkan nama Bobby tahun lalu. Padahal, Indonesia telah melarang ekspor nikel mentah dalam rangka hilirisasi nikel.
Kampanye hilirisasi nikel memang menggugah emosi nasionalisme dan semangat perjuangan. Namun, jika kampanye ini dilontarkan oleh pihak yang bertindak kontradiktif, seperti keluarga Presiden Jokowi yang diduga terlibat dalam penyalahgunaan izin usaha pertambangan, maka kampanye ini tak lebih dari sekadar retorika kosong.
Rakyat Indonesia, terutama para pejuang keadilan, perlu bersiap memimpin amarah rakyat jika terbukti ada penyalahgunaan kekuasaan.
Jika tidak, revolusi sosial bisa menghancurkan tatanan negara. Rezim nepotis ini harus segera bertobat dan berhenti menyibukkan diri dengan politik praktis yang merugikan rakyat. Masa berkuasa mereka sudah hampir berakhir, dan rakyat tidak akan tinggal diam. [Benhil Online]