Kontroversi Upacara Kemerdekaan di Ibu Kota Baru, Simbol atau Tindakan Tergesa?

Saiful Huda Ems

Upacara peringatan Hari Kemerdekaan Indonesia di Ibu Kota Negara (IKN) yang belum diresmikan menuai sorotan tajam. Keputusan pemerintahan Jokowi ini memicu perdebatan sengit, terutama terkait aspek legalitas dan penghormatan terhadap perjuangan kemerdekaan yang berdarah-darah. 

Benarkah tindakan ini mencederai marwah negara, atau sekadar langkah simbolis yang terlalu terburu-buru?

Ketika mendengar kabar bahwa upacara resmi Hari Kemerdekaan Indonesia akan digelar di Ibu Kota Negara (IKN) yang masih dalam tahap pembangunan, banyak pihak merasa terkejut. Pasalnya, IKN belum diresmikan sebagai ibu kota baru secara formal, namun sudah dipilih menjadi lokasi perayaan simbolis yang paling penting bagi bangsa ini. 

Bagi banyak orang, langkah ini seolah melompat jauh dari prosedur yang semestinya, mengabaikan prinsip-prinsip hukum tata negara yang mengatur legitimasi sebuah wilayah untuk menjadi pusat pemerintahan.

Kemerdekaan Indonesia yang diperoleh pada 17 Agustus 1945 tidak diraih dengan mudah. Ini adalah hasil dari perjuangan panjang yang melelahkan, melibatkan pengorbanan jiwa, raga, serta diplomasi di forum-forum internasional. Karenanya, setiap aspek yang berkaitan dengan peringatan kemerdekaan ini harus diperlakukan dengan penuh kehormatan dan keseriusan. 


Banyak kalangan menganggap bahwa pelaksanaan upacara di lokasi yang belum sah secara hukum, seperti IKN, bisa diartikan sebagai upaya yang merendahkan nilai-nilai perjuangan tersebut.

Tidak hanya itu, berbagai kebijakan kontroversial yang menyertai pengembangan IKN menambah panasnya situasi. Salah satu yang paling disorot adalah pemberian hak pengelolaan lahan kepada investor asing dan lokal selama hampir dua abad, sebuah langkah yang dianggap bisa mengancam kedaulatan negara di masa depan. 

Selain itu, penggusuran warga lokal untuk memberikan jalan bagi proyek ambisius ini dianggap tidak mencerminkan semangat kemerdekaan yang seharusnya membebaskan, bukan menindas.

Seolah menambah ironi, Presiden Jokowi dan Ibu Negara mengenakan pakaian adat Kutai yang megah dalam upacara tersebut, sementara Sultan Kutai, simbol otoritas adat setempat, tidak diundang untuk hadir. 

Bagi banyak orang, ini menjadi simbol dari bagaimana tradisi dan sejarah lokal diabaikan dalam proses pembangunan IKN. Tindakan ini dipandang sebagai bentuk penghinaan, baik terhadap legalitas negara maupun terhadap mereka yang telah berjuang demi kemerdekaan.


Langkah pemerintahan Jokowi ini memang memiliki tujuan yang ambisius—membangun IKN sebagai pusat baru yang mencerminkan Indonesia masa depan. 

Namun, jika tidak dilakukan dengan hati-hati dan mempertimbangkan aspek-aspek historis serta hukum, tindakan ini bisa menjadi bumerang yang justru merusak legitimasi dan menghancurkan nilai-nilai yang telah diperjuangkan oleh para pahlawan bangsa. 

Sebuah pelajaran penting untuk diingat adalah bahwa simbolisme dan kenyataan harus berjalan seiring, dan setiap langkah besar harus diambil dengan pertimbangan yang matang dan penuh kesadaran sejarah. [Benhil Online]
Previous Post Next Post

Contact Form