Skandal KPK dan Politisasi Hukum: Peran Terselubung di Balik Pemeriksaan Hasto

Hasto Kristiyanto

Oleh: Saiful Huda Ems
Penulis seorang lawyer dan mantan aktivis '98 

Mengejutkan sekaligus mengkhawatirkan, pemeriksaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto dan stafnya, Kusnadi, memicu tanda tanya besar terkait integritas dan tujuan sebenarnya dari penyidik KPK, Kompol Rosa Purba Bekti (RPB). 

Tindakan Rosa yang tidak profesional dan tidak proporsional ini mengundang spekulasi adanya kekuatan besar yang mencoba mempolitisasi kasus hukum Harun Masiku (HM) dengan menyeret Hasto ke dalam pusaran.

Sinyal yang diberikan sangat jelas: penyitaan handphone dan buku catatan penting PDIP yang dilakukan oleh Rosa seakan memberi peringatan keras agar tidak lagi mempersoalkan kecurangan Pemilu atau mengkritik Presiden Jokowi, dengan ancaman pembocoran isi buku dan handphone tersebut.

Rosa, sebagai penyidik KPK, seharusnya hanya boleh memeriksa Hasto dan tidak berwenang memeriksa Kusnadi. 

Rosa kembali ke KPK sejak 14 Mei 2020, setelah sebelumnya ditarik ke Polri, berdasarkan keputusan pimpinan KPK atas permintaan Polri. Namun, apa yang terjadi dalam pemeriksaan ini mengindikasikan sesuatu yang lebih besar.

Gelombang protes dari para analis politik, akademisi, dan ribuan mahasiswa dari berbagai kota besar menjelang dan sesudah Pilpres 2024 menunjukkan bahwa rezim Jokowi telah menggunakan alat negara secara terang-terangan untuk memenangkan capres-cawapres yang didukungnya. Intimidasi oleh aparat penegak hukum pun bukan hal baru.


Dalam konteks politik yang sarat kepentingan ini, perlakuan Rosa yang berlatar belakang Polri terhadap Hasto dan Kusnadi terasa tidak hanya menggelikan tetapi juga melanggar hukum. 

Tindakan perampasan barang-barang seperti handphone, tas, dan buku catatan rahasia PDIP milik Hasto melalui tipu daya terhadap Kusnadi yang mengatakan bahwa Kusnadi telah dipanggil Hasto ke ruang pemeriksaan adalah pelanggaran etik berat.

Institusi KPK seolah-olah menjadi korban dalam skenario besar ini, entah atas perintah dari siapa. Apakah penguasa rezim di istana terlibat? Tidak ada yang tahu pasti. 

Keputusan Mahkamah Konstitusi memang telah mengubah prosedur tindakan KPK terkait upaya paksa dari meminta izin menjadi sebatas pemberitahuan pada Dewan Pengawas (DEWAS) KPK. 

Namun, jika Rosa telah memberitahukan DEWAS KPK, mengapa ia harus menyamar dengan topi dan masker serta berbohong kepada Kusnadi untuk menyita barang-barang tersebut?

Perampasan barang-barang yang berisi rahasia partai menjadi bukti nyata adanya motif tersembunyi di balik tindakan Rosa. Siapa orang di balik layar ini? 


Atas dasar tindakan tersebut, Kapolri seharusnya mengambil langkah tegas terhadap bawahannya yang melanggar hukum, berbohong, dan melakukan perampasan aset pihak lain serta menyembunyikan identitasnya.

Jika tidak ada motif politik, seharusnya Rosa secara baik-baik menemui penasihat hukum dan membahas pemeriksaan handphone serta melihat keterkaitan dengan pokok perkara secara bersama-sama. 

Apa yang terjadi dalam pemeriksaan Hasto ini sangat berkaitan dengan sikap kritis Sekjen PDI Perjuangan itu yang mempersoalkan kecurangan Pemilu dan mengungkapkan kerusakan demokrasi, hukum, serta berbagai abuse of power oleh Presiden Jokowi.

Pada masa itu, sumber daya negara dan alat-alat negara, termasuk POLRI, telah disalahgunakan. Kini, cara-cara intimidasi yang sama diterapkan oleh oknum KPK melalui Rosa. 

Tindakan intimidasi terhadap Kusnadi dengan pemeriksaan selama tiga jam menggunakan diksi agama tentang surga dan neraka adalah pelanggaran etika yang seharusnya tidak dilakukan oleh seorang penyidik KPK. 

Skandal ini bukan hanya merusak citra KPK tetapi juga mengungkap betapa dalamnya politisasi hukum yang sedang berlangsung, merusak demokrasi dan integritas hukum di Indonesia.  [Benhil Online]
Previous Post Next Post

Contact Form