Indonesia di Ambang Krisis Kebijakan dan Kesenjangan

Saiful Huda

Oleh: Saiful Huda Ems
Lawyer dan Mantan Aktivis 98 

Dalam upaya memperbaiki kesejahteraan masyarakat, muncul inisiatif program makan siang gratis. Namun, saat sadar dana tidak mencukupi, alasan pun dikemukakan: waktu makan siang bertepatan dengan jam pulang sekolah anak-anak. Solusinya? Makanan bergizi akan disediakan, dengan waktu pelaksanaan yang akan diatur ulang.

Di tengah kegelisahan masyarakat atas biaya masuk perguruan tinggi yang melambung, Prabowo Subianto menegaskan bahwa pendidikan tinggi seharusnya murah, bahkan idealnya gratis. Namun, ketika menghadapi realitas keuangan negara yang dibebani utang yang menggunung, pernyataan tersebut mungkin akan direvisi.

Kepemimpinan yang tidak mengenal penderitaan rakyat cenderung melahirkan kebijakan yang tidak realistis. Mereka yang hidup dalam kemewahan karena kedekatan dengan penguasa sulit menunjukkan empati dan merancang program strategis yang efektif. Akhirnya, janji-janji yang diucapkan hanya untuk meredam kemarahan publik.

Presiden Joko Widodo juga menghadapi kritik serupa. Semakin lama, orientasinya semakin kabur, apakah berpihak pada rakyat atau pada investor asing yang seringkali tidak membawa manfaat bagi rakyat kecil. Bahkan, harga diri bangsa kerap tergadaikan demi kepentingan luar.


Beberapa menteri yang bermasalah dibiarkan saja, meskipun sudah lama disarankan untuk reshuffle. Tokoh seperti Syahrul Yasin Limpo (SYL) dan Juliari Peter Batubara (JGP) akhirnya tersingkir setelah bertahun-tahun. Ironisnya, Jokowi kini justru tampak memanjakan menteri-menteri yang bermasalah hanya karena kesetiaan politik mereka.

Di tengah kondisi ini, hanya sedikit Ketua Umum Partai yang berani menyuarakan penderitaan rakyat. Salah satu pengecualian adalah Megawati Soekarnoputri, Ketua Umum PDIP. Dengan berani, beliau mengkritik berbagai persoalan kenegaraan dan kebangsaan.

"Saya yang membangun KPK, MK, dll. kok semuanya begitu mudah dirusak. Harus kita apakan dia?" tanyanya, yang disambut teriakan "Lawan!" dari peserta Rakernas PDIP.

Pidato Megawati ini menyentuh banyak orang, termasuk Hasto Kristiyanto yang matanya berkaca-kaca. Saya sendiri tak kuasa menahan air mata. Memang benar, perjuangan kami membenahi negeri ini, dari pembangunan mentalitas bangsa hingga institusi-institusi negara, terasa sia-sia karena sikap arogan Jokowi.

Kita juga tak boleh lupa akan perjuangan kami dahulu, di era Soeharto, untuk memisahkan peran TNI dan POLRI melalui pencabutan Dwi Fungsi ABRI/TNI. Semua itu kini dirusak lagi oleh Jokowi yang menarik militer kembali ke politik praktis, demi kepentingan keluarganya.


Kesedihan dan kemarahan saya tak terbendung melihat aktivis '98 yang kini diam saja, seolah perjuangan dahulu hanya untuk sensasi media. Setelah memaksakan anak, menantu, dan adik iparnya menjadi Walikota, Ketua Umum Partai, dan menguasai MK, kini di Medan menantu Jokowi (Bobby) memaksakan pamannya (Benny Sinomba) menjadi Pelaksana Harian (Plh) Sekda.

Pertanyaan besar yang menggema: Negara ini milik siapa? Dipimpin berdasarkan aturan apa? Mengapa semua kebijakan tampak hanya menguntungkan keluarga Jokowi saja? [Benhil Online]
Previous Post Next Post

Contact Form