Beberapa bulan ini muncul usaha baru di Kota Semarang, Jawa Tengah, yaitu toko Madura. Sebagai bisnis dagang baru, akankah menggeser warung lokal?
Sebelum di Semarang, Keberadaan toko yang buka 24 jam itu sudah menjamur di kota-kota besar, seperti Jakarta, Bandung, dan Surabaya. Di kota-kota tersebut, jenis usaha ini diterima dengan baik, terbukti bisa mengumpulkan omzet dari Rp 2 juta sampai Rp 12 juta per hari. Tentu saja itu jumlah yang fantastis untuk usaha skala mikro kecil.
Tak ayal, pengusaha toko atau warung yang kebanyakan berasal dari kampung terpencil bernama Mandun di Sumenep Madura itu mampu membangun rumah-rumah mewah di sana. Rumah bagus dengan biaya Rp 1-4 miliar itu tentu saja berasal dari kerja keras dagang di kota-kota besar tersebut.
Namun usaha toko Madura juga tidak lepas dari resiko atau kerugian. Hal itu disampaikan oleh Atik (43 tahun).
"Pemilik toko ini punya 4 usaha seperti ini, dua di Jakarta dan dua di Semarang. Yang di Jakarta benar-benar ramai, jadi omzetnya besar," ujarnya dengan logat Madura yang kental kepada Benhil, Minggu, 21 April 2024.
Atik mengisahkan dengan omzet yang besar itu membuat pegawai tergoda untuk memanfaatkan kelengahan pemilik.
"Uang dari toko tidak disetorkan atau dibelikan barang dagangan, tapi malah dibawa lari," ujar perempuan yang mengaku bergantian dengan suaminya menjaga toko Madura di daerah Semarang Atas.
Saat ditanya apakah pemilik membawa kasus pencurian itu ke pihak yang berwajib, Atik hanya tertawa.
"Pegawai toko ini biasanya diambil dari saudara dekat atau teman yang bisa dipercaya di kampung. Kalau mau dilaporkan ke polisi mungkin nggak tega atau nggak ingin menyusahkan kerabat," ucapnya.
Dari Rokok Hingga Bensin Eceran
Keunggulan usaha dagang dari pulau di Jawa Timur itu adalah menyediakan segenap kebutuhan yang tidak ada di supermarket kelas menengah ke bawah, seperti Indomaret, Alfamaret, dan Superindo. Hal itu disampaikan Dwi (49 tahun).
"Aku beli rokok eceran di toko Madura ternyata bisa. Di situ juga tersedia BBM [bahan bakar mesin] baik yang ada di dalam botol dan juga pom mini," ujarnya.
Harganya, menurut Dwi, tidak beda dengan toko kelontong lokal yang terdapat di kampung atau di gerobak pinggir jalan.
"Tempatnya yang bersih dan barang dagangan yang ditata rapi membuat pembeli tertarik untuk berbelanja," kata pria asli Semarang itu.
Ketika diminta mengemukakan pendapat tentang toko Madura yang kemungkinan menggeser toko kelontong lokal, Atik dan Dwi berbeda pendapat.
"Pembelinya beda. toko Madura hanya jualan di pinggir jalan besar, sedangkan toko kelontong lokal berjualan di dalam kampung," ujar Atik.
Sedangkan Dwi menyatakan bisnis itu perlu melihat peluang. Kalau tidak bisa memanfaatkan peluang harus siap-siap tergusur. [Benhil]