Oleh: Saiful Huda Ems
Penulis adalah seorang Lawyer dan aktivis 98
Di tengah gejolak yang mendera negara, isu nepotisme semakin merajalela. Penguasa di Istana tampak lebih sibuk dengan permainan kekuasaan dan "perebutan kursi" ketimbang memperhatikan kebutuhan rakyat yang semakin terpinggirkan.
Gelombang demonstrasi yang tak kunjung usai, menjadi cermin kekecewaan masyarakat terhadap kebijakan pemerintah. Bahkan resahnya masyarakat meluas tidak hanya di ibu kota, namun juga merembet ke berbagai daerah di seluruh negeri.
Ditengah dinamika politik yang selalu berubah-ubah, masyarakat terus diadu domba dengan kepentingan politik yang hanya semakin membingungkan. Peran Presiden Jokowi pun kerap dipertanyakan, dengan sebagian besar masalah yang terjadi di negara ini dihubungkan langsung kepadanya.
Semua pihak harus membuka mata dan telinga, untuk melihat gambaran yang lebih jelas dari situasi yang sedang terjadi. Kritik yang membangun serta kepedulian terhadap nasib bangsa harus menjadi fokus bersama, agar Indonesia dapat menemukan jalan keluar dari keruwetan yang sedang melanda.
Pelaksanaan penyaluran Bantuan Sosial (Bansos) yang seharusnya dilakukan oleh Menteri Sosial Risma mencuat kontroversi setelah dugaan sabotase dari pihak Presiden Jokowi.
Risma, yang hanya diizinkan mengetahui alokasi dana sebesar Rp87 triliun, langsung menyalurkan bantuan tersebut kepada masyarakat dengan penuh tanggung jawab.
Namun, sisi lain yang mencemaskan adalah keberadaan dana Bansos senilai Rp400 triliun yang sepertinya di luar kendali Risma. Pertanyaan pun muncul, kemana alokasi dana yang besar itu digunakan dan siapa yang bertanggung jawab atasnya? Apakah peran Presiden Jokowi, Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, Mendag Zukifli Hasan, atau menteri-menteri lain yang terafiliasi dengan pemerintah?
Ketidakjelasan mengenai dana Bansos yang besar tersebut menjadi sorotan yang sangat mengkhawatirkan. Publik mempertanyakan transparansi dan akuntabilitas pemerintah dalam pengelolaan dana-dana besar seperti ini, sekaligus menyoroti kemungkinan adanya kelalaian atau bahkan kecurangan dalam penyaluran bantuan kepada rakyat.
Semua pihak diharapkan untuk turut mengawasi dan memastikan Bansos benar-benar sampai kepada yang berhak menerima, demi kesejahteraan seluruh masyarakat Indonesia.
Pemilihan Umum 2024, bayangan kecurangan yang terstruktur, sistematis, dan masif telah menghantui sebagian besar masyarakat. Partisipasi warga negara biasa dianggap sulit untuk dapat menandingi kekuatan dan sistem yang ada, terutama oleh mereka yang duduk dalam kekuasaan.
Tim hukum dari pasangan calon Anies-Muhaimin dan Ganjar Pranowo-Mahfud MD telah mengambil langkah untuk menggugat keputusan Pemilu ke Mahkamah Konstitusi (MK), serta meminta diskualifikasi calon wakil presiden nomor dua.
Baca juga: Pengkhianatan Jokowi pada Ahok dan Megawati
Keterlibatan Komite HAM PBB serta sorotan dari media internasional turut menjatuhkan soal kejujuran dan integritas dalam Pemilu 2024 di Indonesia. Muncul pertanyaan, apakah Presiden Jokowi masih dapat dianggap sebagai pemimpin demokratis dan bijaksana?
Rencana Revolusi Mental tampak terancam oleh manipulasi struktural yang dilakukan oleh pihak rezim. Target Indonesia Emas 2045 dianggap semakin kabur dengan munculnya pernyataan bahwa kesuksesan hanya terlihat pada sejumlah elite seperti Emas Jokowi, Emas Anwar Usman, Emas Gibran, Emas Bobby, dan Emas Kaesang.
Merekalah badut-badut negara penyongsong 2045, maka jangan heran jika ada tokoh lokal, politisi pemula yang tidak memiliki track record perjuangan nasional apapun, dan yang hanya bermodalkan jadi menantunya Presiden, kemudian ia dianugerahi sebagai tokoh Nasional! [Benhil Online]