Oleh: Saiful Huda Ems.
Tidak ada orang yang paling berbahaya dan harus bertanggung jawab dengan berbagai kejadian politik di negeri ini selain Presiden Joko Widodo (Jokowi). Saya bukan mengada-ada, bukan pula karena kecewa akibat capres (calon presiden) dan cawapres (calon wakil presiden) yang saya dukung kemungkinan dipaksa kalah pada Pilpres (pemilihan presiden) 14 Februari 2024.
Saya juga tidak ada persoalan pribadi dengan Jokowi. Selain itu, saya bukan sia-siapa dari capres dan cawapres yang saya dukung dan dipaksa kalah dengan modus dicurangi. Saya juga bukan kader PDIP (PDI Perjuangan) dan bukan kader partai lain yang yang ikut Pilpres 2024 lalu. Usia saya dengan Jokowi terbentang jarak yang jauh. Jadi saya dan Jokowi bukan pesaing politik.
Kondisi Carut Marut
Saya berani bertanggung jawab secara politik dan hukum dengan mengatakan kalau Jokowi adalah orang yang paling berbahaya di negara ini. Coba perhatikan, pada masa Pemerintahan Jokowi ini angka kriminalitas meningkat pesat. Berbagai tindakan kriminal jadi meningkat, seperti pembunuhan, perampokan, prostitusi online, judi online, penipuan melalui modus pinjaman online, penipuan melalui medsos (media sosial) dengan modus pencurian data pribadi, persekusi, intimidasi, dan lain-lain.
Sudah? Belum. Masih banyak carut marut di negara ini pada masa pemerintah mantan Gubernur Jakarta itu, dia antaranya adalah tindakan bunuh diri karena himpitan ekonomi terjadi di mana-mana, tatanan hukum rusak berantakan, penegakan hukum lemah karena banyaknya tebang pilih kasus, korupsi menjadi-jadi, Pemilu curang, beberapa partai politik (parpol) dihancur-leburkan, lawan-lawan politik pemerintah akan banyak yang dikriminalisasikan, sedangkan yang jelas-jelas koruptor justru banyak yang disandera dan dilindungi untuk kepentingan politik penguasa.
PDIP memperoleh suara terbanyak, namun memperoleh kursi DPR RI sebanyak 101 kursi. Kalah dengan Golkar (Golongan Karya) yang sebanyak 111 kursi dan Gerindra yang sebanyak 102 kursi. Padahal perolehan suara secara nasional Golkar dan Gerindra jauh di bawah perolehan suara PDIP. Ini memang persoalan sistem pembagian kursi parlemen yang dibangun pada masa Presiden SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) dan semakin kacau serta brutal di era Presiden Jokowi.
Suara parpol yang sebenarnya Gurem (PSI atau Partai Solidaritas Indonesia) dilipat gandakan. Suara Golkar digelembungkan dengan mencuri suara parpol lainnya. Mahkamah Konstitusi (MK) tidak lagi berwibawa akibat keputusan yang membuat geger politisi dan akademisi Tanah Air karena adik ipar Jokowi menjabat di lembaga itu meski sudah diberi sanksi oleh MKMK (Majelis Kehormatan MK). KPU (Komisi Pemilihan Umum) terus menuai protes dari mana-mana dan Bawaslu (badan pengawas pemilu) seperti tidak memiliki fungsi apa-apa, selain untuk pemanis demokrasi.
Jokowi akan Hidupkan Dwi Fungsi ABRI
Yang terakhir dan yang paling berbahaya lagi yaitu Pemerintahan Jokowi bakal menghidupkan kembali sistem seperti Dwi Fungsi ABRI seperti pada masa Orde Baru. Padahal sistem itu telah membuat trauma jutaan rakyat negeri ini. Wacana itu tertuang melalui UU ASN (Aparatur Sipil Negara) No.20 Tahun 2023, di mana Pemerintahan Jokowi membuka pintu bagi anggota TNI/POLRI untuk mengisi jabatan ASN. Penempatan TNI/POLRI aktif dalam jabatan sipil ini merupakan bukti penghianatan Jokowi terhadap perjuangan Reformasi 1998.
TNI/POLRI akan ditarik-tarik kembali ke ranah politik praktis dan akan dijadikan sebagai alat politik untuk menopang rezim Jokowi yang akan dilanjutkan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka pada masa mendatang. Hal itu berpotensi menjadi Rezim Pemerintahan dengan corak otoriterianisme baru.
Padahal dulu kami (para pemuda dan mahasiswa) menggelorakan Reformasi 1998 dan melakukan aksi-aksi di jalan dengan tujuan di antaranya adalah memperjuangkan agar Dwi Fungsi ABRI dicabut.
Saat itu kami melakukan semua itu sebagai bentuk koreksi terhadap penyimpangan fungsi dan peran ABRI pada bidang politik, sosial, kebudayaan, dan pertahanan, serta keamanan negara. Saat ini kami ingin mendorong ABRI agar menjadi personel militer yang profesional dan tidak memiliki kepentingan apapun, selain menjaga kedaulatan dan pertahanan negara serta menjaga keamanan dan ketertiban rakyat Indonesia.
Lalu mengapa sekarang Jokowi menarik-tarik TNI/POLRI lagi ke medan pertarungan politik yang masing-masing akan membawa kepentingan politiknya sendiri? Apabila UU ASN No.20 Tahun 2023 nanti disahkan dan TNI/POLRI diberi kewenangan untuk mengisi jabatan ASN, yang saya khawatirkan adalah hal itu akan menjadi pintu masuk kembalinya sistem pemilihan presiden dan wakil presiden serta kepala daerah secara tidak langsung.
Jika itu terjadi, maka masyarakat sipil harus siap-siap kembali terpinggirkan dari arena politik praktis. Selain itu, pencapaian demokrasi yang kita perjuangkan selama puluhan tahun akan terjun bebas ke jurang kegagalan. Ujung-ujungnya, kaum fundamentalis agama yang selama ini skeptis terhadap demokrasi dan lebih percaya pada Sistem Khilafah Islamiyah akan menemukan momentum pembenarannya.
Bahaya sekali bukan? Jadi mana pilihan yang paling bagus, menyelamatkan Jokowi atau menyelamatkan Negara Indonesia? Silakan tentukan pilihan sekarang juga!...(SHE).
Jumat, 15 Maret 2024.
Penulis adalah pengacara dan pengamat politik. [Benhil]