Oleh: Saiful Huda Ems.
Banyak sekali permasalahan dan kejadian buruk yang menimpa bangsa kita, seperti balapan motor liar yang memakan banyak korban dan mati sia-sia dalam keadaan yang sangat tragis, tawuran antar pemuda atau antar warga yang korbannya mengalami cacat, dan kejahatan hacker semakin menjadi-jadi sehingga banyak data pribadi dicuri dan uang mereka yang disimpan di bank terkuras habis.
Ditambah lagi, judi online banyak sekali, berbagai penipuan lewat media sosial (medsos) marak terjadi, banyak yang terjerat pinjaman online, banyak orang yang bangkrut dan bunuh diri, persekusi terhadap para remaja di sekolah-sekolah dan bahkan di Pondok Pesantren banyak terjadi seakan-akan tiada henti.
Hal itu diperburuk dengan bencana alam, gempa bumi, banjir, tanah longsor, angin puting beliung, semburan lumpur yang menggunung di tengah sawah, kecelakaan lalu lintas di tol atau jalan raya, maling, copet, perampokan disertai pembunuhan, dan lain lain. Kabar-kabar tersebut menjadi pemberitaan di berbagai stasiun TV Nasional kita.
Sementara itu presiden Joko Widodo (Jokowi) di istana cengar-cengir saja, tidak sedikitpun merasa bersalah atas ulahnya setelah menghabiskan ratusan triliun rupiah dana APBN (anggaran pendapatan dan belanja negara) untuk Pemilu (pemilihan umum) 2024 yang pelaksanannya banyak dimanipulasinya. Jokowi masih juga bergeming atas pernyataan Mensos (menteri sosial) Tri Rismaharini atau Risma yang menyatakan tidak tahu apa-apa soal dana bansos (bantuan sosial) Rp 498 Triliun yang digelontorkan pemerintah, selain Rp 79 Triliun dana Bansos yang dikelolanya. Padahal Risma adalah menteri sosial, bukan menteri pertahanan.
Lembaga negara seperti Mahkamah Konstitusi (MK) tidak lagi berwibawa, setelah diacak-acak dan dilacurkan keputusannya oleh adik ipar presiden dan hakim-hakim MK yang sekubu dengannya. KPU (Komisi Pemilihan Umum) dicemooh banyak orang karena dinilai curang dan di banyak daerah terjadi kasus penyuapan yang dilakukan para Caleg (calon legislatif). Bawaslu (vadab pengawas pemilu) seolah tidak berfungsi apa-apa karena sanksi yang diberikan olehnya tidak memiliki efek jera bahkan nyaris tidak berdampak bagi para pelaku kejahatan pemilu.
Sebagian partai politik (parpol) yang sudah bersusah payah berjuang habis-habisan sejak sebelum dan selama pemilu, suaranya banyak yang hilang tercuri. Contohnya Partai Buruh yang memiliki jutaan anggota bisa kalah jauh suaranya dengan Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Beruntung setelah ketahuan terjadi penggelembungan suara, PSI tidak lolos ke Senayan.
Satu keluarga Jokowi tampak lebih berkuasa daripada jutaan rakyat Indonesia karena bapak, adik ipar, anak dan menantu bisa bercokol sebagai kepala negara, kepala daerah, ketua umum parpol, dan hakim MK tanpa malu-malu. Saat musim kampanye Pemilu, mereka tidak mau cuti sebab sudah dipersiapkan peraturannya terlebih dahulu oleh sang bapak yang menjabat sebagai presiden.
Negara Adalah Saya
Konstitusi yang lahir dari pemikiran para tokoh bangsa yang brilian di awal kemerdekaan dan diamandemen empat kali oleh ratusan anggota parlemen sesudah Gerakan Reformasi '98, ditabrak-tabrak sesuka hatinya. Seolah-olah Presiden Jokowi ingin mengatakan, "Negara adalah saya! Hukum adalah keinginan saya!" Dengan begitu, anak bau kencur yang usianya belum genap 40 tahun (putra presiden), dipersilahkan untuk menjadi cawapres (calon wakil presiden).
Negeri ini sedang darurat leadership (kemampuan memimpin), maka sebaiknya tidak boleh diserahkan begitu saja pada seseorang yang pernah menjadi penculik. Apalagi kepada sosok yang sudah dipecat dan tidak aktif lagi di militer, namun tiba-tiba diberi anugerah bintang empat oleh presiden. Jokowi semakin lama semakin tidak tahu diri, para koruptor yang dulu sering ketakutan dan kabur ke luar negeri, sekarang bisa nyaman bersembunyi di istana. Bagaimana bisa?.
Sepertinya ada benarnya ketika seorang politikus senior (sesama pendukung berat Jokowi sejak menjadi walikota Solo, gubernur Jakarta, sampai menjadi presiden 2 periode) berkata pada saya:
"Saya menduga Jokowi adalah agen yang disusupkan untuk menguasai sumber daya alam dan arah kebijakan NKRI untuk kepentingan asing secara konstitusional. Dan saya menduga pula, negeri ini sudah tersandera oleh kapitalisme global karena pembangunan infrastuktur yang melampaui kapasitas keuangan negara."... (SHE).
24 Maret 2024.
Penulis adalah pengacara dan pengamat politik. [Benhil]