Satu lagi kasus kekerasan di lingkungan pendidikan berbasis reliji pondok pesantren (ponpes). Pemerintah butuh berapa korban lagi untuk mengevaluasi sistem pendidikan model itu?
Santri yang menjadi korban kali ini terhitung masih bocah (14 tahun) bernama Bintang Balqis Maulana. Dia meninggal dengan dugaan akibat dianiaya oleh para seniornya di Ponpes Tartilul Quran (PPTQ) Al Hanifiyyah, Kabupaten Kediri, Jawa Timur. PPTQ tersebut belum punya izin operasional dari Kemenag (Kementerian Agama) RI.
Bintang berasal dari Desa Karangharjo, Banyuwangi, yang mondok di PPTQ Al Hanifiyyah dan menempuh pendidikan di MTs Sunan Kalijogo, Ponpes Al Islahiyyah. Dua ponpes itu jaraknya dekat.
Jenazah bocah malang itu diantar oleh pihak pesantren dan terduga pelaku di rumahnya di Banyuwangi pada Sabtu, 24 Februari 2024. Pihak pesantren beralasan, Bintang meninggal akibat terjatuh di kamar mandi.
Melihat kejanggalan pada jenazah Bintang, pihak keluarga minta agar kain kafan dibuka.
"Luka lebam di sekujur tubuh ditambah ada luka seperti jeratan leher. Hidungnya juga terlihat patah. Tak kuasa menahan tangis. Ini sudah pasti bukan jatuh, tapi dianiaya," ujar kakak korban bernama Mia (22 tahun).
Ibu korban, Suyanti juga syok melihat kondisi jenazah putranya. Menurutnya, muka jenazah hancur, matanya bengkak, leher berlubang, dan sekujur tubuh banyak luka akibat sundutan rokok.
Pelaku Sepupu Korban
Pihak keluarga langsung melaporkan kasus tersebut ke Polsek Glenmore dan lalu kepolisian Kediri menetapkan empat tersangka, yakni MN (18 tahun), MA (18 tahun), AK (17 tahun) dan AF (16 tahun, sepupu korban). Mereka adalah senior korban di ponpres tersebut.
"Minggu malam kami telah mengamankan empat orang dan kita tetapkan sebagai tersangka dan kita lakukan penahanan untuk proses penyidikan lebih lanjut," kata Kapolres Kediri Kota AKBP Bramastyo Priaji pada Senin, 26 Februari 2024.
Tragedi kematian Bintang termasuk sangat mengenaskan karena sebelumnya korban sudah minta ibunya lewat pesan WA (whatapps) untuk segera menjemput pulang dengan alasan ketakutan. Suyanti malahan menyarankan Bintang untuk bertahan sembari berjanji akan menjemputnya setelah Ramadan sampai akan membelikan sepeda motor jika dia lulus sekolah.
Bocah malang itu tetap minta dijemput pada pesan terakhirnya.
Menurut keterangan para santri yang menjadi saksi penganiayaan itu, saat dipukuli oleh para seniornya, Bintang memanggil-manggil kakek dan neneknya. Mungkin karena ibunya tidak menggubris pesannya.
Suyanti menerangkan kalau Bintang memang lebih dekat pada kakek dan neneknya. Dia menambahkan kakek dan nenek Bintang yang paling terpukul dengan kematian cucunya itu.
Penasehat hukum para terduga pelaku, Rini Puspita Sari menyatakan kliennya melakukan pemukulan ke wajah, punggung, dan dada korban.
Pengakuan terduga pelaku, menurut Rini, tindak kekerasan secara spontanitas itu dilakukan karena Bintang melanggar beberapa aturan, di antaranya tidak mengikuti salat berjamaah dan tidak melaksanakan piket.
Deretan Panjang Penganiayaan di Ponpes
Tragedi kematian Bintang menambah deretan panjang kasus serupa di ponpes. Tidak kurang 6 kasus penganiayaan berujung kematian terjadi di lingkungan reliji itu hanya selama dua tahun ini saja, yakni pada Agustus 2022 (di Gontor dan di Tangerang), November 2022 (di Sragen), September 2023 (di Temanggung), Desember 2023 (di Kuningan), dan terakhir di Kediri itu.
Itu belum termasuk laporan para santriwati di beberapa ponpes yang mengalami pelecehan seksual oleh pengasuh ponpes.
Kabar kriminal yang terjadi di lingkungan agama itu sontak memicu kemarahan dari para netizen Tanah Air.
'Bisa-bisanya ibunya tidak menggubris WA dari anaknya,' tulis seorang netizen.
'Meski anaknya di pesantren, tapi orang tua harus mengawasi. Kalau tidak bisa, lebih baik disekolahkan di sekolah agama biasa,' yang lain menambahkan komentar.
'Pemerintah butuh berapa korban lagi untuk mengevaluasi model pendidikan pesantren itu?' tulis netizen lain.
Namun ternyata masalahnya tidak semudah itu. Pemerintah baru bisa mengawasi pesantren apabila tempat itu sudah berizin, sedangkan PPTQ Al Hanifiyyah belum mengantongi izin.
Direktur Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) Sarmidi Husna menyatakan setiap pesantren wajib memiliki izin operasional dari Kemenag.
Alasan Sarmidi, dengan izin tersebut, pemerintah baru bisa memberikan pengawasan sehingga kalau terjadi suatu hal, pesantren tersebut bisa diminta pertanggungjawaban. [Benhil]