Oleh: Saiful Huda Ems.
Jika Presiden Joko Widodo (Jokowi) itu hebat dan pengaruhnya besar, tentu PSI (Partai Solidaritas Indonesia) akan menjadi pemenang Pemilu (pemilihan umum) 2024, karena partai itu memajang foto Jokowi di baliho-baliho kampanye di seluruh penjuru Nusantara. Namun karena Jokowi sudah tidak memiliki pengaruh, selain guyuran Bansos dan BLT(bantuan langsung tunai)-nya, maka suara PSI jeblok dan tidak bisa lolos ke Senayan.
Ternyata Jokowi sangat faham dengan hal itu, maka dia melakukan berbagai kecurangan demi kecurangan sejak awal proses Pemilu 2024. Dia memaksa aparatur negara untuk mengikuti arahannya, serta para kepala dinas dan kepala desa dikerahkan untuk mendukung Paslon (pasangan calon) dari capres (calon presiden) yang didukungnya.
PSI yang suaranya jeblok dan tidak lolos ke Senayan, diusahakan masuk ke Senayan meski dengan suaranya yang sangat minim. Partai Golkar didorong untuk menjadi besar suaranya mengalahkan Gerindra dan kalau bisa mengalahkan PDIP (PDI Perjuangan) atau sekurang-kurangnya nyaris menyamai suara PDIP.
Kenapa PSI harus diloloskan ke Senayan? Jawabnya, agar Jokowi tidak kehilangan muka karena partai selalu mencitrakan diri sebagai partainya Jokowi. Selain itu juga agar putra bungsu Jokowi (Kaesang Pangarep) yang jadi Ketum (ketua umum) PSI bisa punya kendaraan politik untuk Maju sebagai Cagub (calon gubernur) DKI Jakarta.
Lalu, kenapa Golkar harus didorong agar suaranya lebih besar dari Gerindra atau setidaknya nyaris menyamai suara PDIP? Itu karena Jokowi ingin menjadikan Golkar sebagai kendaraan politik barunya setelah ia berkhianat pada PDIP dan sudah tidak punya pengaruh lagi di partai berlambang banteng bermoncong putih tersebut.
Prabowo Tidak Sewenang-Wenang pada Jokowi dan Gibran
Suara Partai Gerindra juga dibuat lebih rendah dari Golkar, tujuannya agar saat Prabowo Subianto sudah resmi menjadi Presiden RI, maka dia tidak sewenang-wenang pada Jokowi dan putra sulungnyanya, Wakil Presiden RI terpilih Gibran Rakabuming Raka.
Politisi Budiman Sudjatmiko yang berada di kubu Prabowo, secara tidak sadar mengatakan bahwa Prabowo nantinya yang akan mengendalikan pemerintahan, bukan Jokowi.
Pernyataan itu sekilas memang benar dan normal karena setelah Jokowi tidak lagi menjadi presiden, maka Prabowo yang akan menggantikannya.
Namun saat KPU (Komisi Pemilihan Umum) belum memutuskan secara resmi siapa Capres-Cawapres yang menjadi pemenang, maka pernyataan Budiman itu bisa dianggap sebagai bentuk ungkapan keraguan dan kegelisahan dari kubu Prabowo. Mereka khawatir Prabowo akan dikendalikan oleh Jokowi setelah tidak lagi menjadi presiden.
Jokowi tentu sangat bisa menangkap sinyal-sinyal pembangkangan Prabowo dan kubunya itu pada Jokowi di masa depan. Oleh karena itu, Jokowi tampaknya telah melakukan langkah-langkah antisipasi untuk mencegah agar hal itu tidak terjadi. Jokowi juga khawatir kelak setelah tidak lagi menjadi presiden, dia akan terhina dan dianggap sebagai orang biasa yang suaranya tidak perlu didengar dan diperhitungkan.
Maka mantan Gubernur DKI Jakarta itu mengantisipasi dengan lLangkah-langkah berupa mendorong suara Golkar dan berusaha semaksimal mungkin untuk memasukkan PSI ke Senayan meski dengan suaranya yang sangat minim. Bagi Jokowi yang penting jangan PPP (Partai Persatuan Pembangunan), tapi harus PSI yang bisa masuk ke Senayan, sebab kalau PPP yang masuk ke Senayan, maka posisi Jokowi nantinya akan terancam.
Ganjar dan Anies Ajukan Hak Angket
Kecurangan-kecurangan terstruktur, sistematis, dan masif ini akan terbongkar dan terbukti saat kubu Capres Ganjar Pranowo dan Anies Baswedan kompak bersatu untuk membawa persoalan ini ke DPR melalui mekanisme pengajuan Hak Angket.
Melalui mekanisme pengajuan Hak Angket, DPR bisa melakukan penyelidikan dengan memanggil Presiden RI, KPU, dan Bawaslu (badan pengawas pemilu) untuk dimintai penjelasan dan pertanggungjawaban tentang penyelenggaraan Pemilu 2024. Perhelatan politik itu ditenggarai penuh dengan kecurangan dan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Hak Angket ini merupakan pintu masuk untuk pemakzulan Presiden.
Jokowi sadar betul kalau kekuatan partai politik (Parpol) pendukungnya di Parlemen, yakni Golkar, Gerindra, Demokrat, dan PAN (Partai Amanat Nasional) masih kalah jauh dibanding kekuatan parpol pendukung Ganjar dan Anies, yakni PDIP, PPP, Nasdem, PKB, dan PKS (Partai Keadilan Sejahtera).
Maka mantan Walikota Solo itu terus menerus berusaha melakukan lobi-lobi politik tingkat tinggi untuk mencegah rencana Hak Angket tersebut. Salah satu lobinya adalah dengan mengangkat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) menjadi menteri, padahal sebelumnya AHY intensif mengkritik dengan gencar pada Jokowi.
Jika dijumlahkan, parpol pendukung Jokowi dan Prabowo di Parlemen hanya 261 dari 575 kursi. Itu artinya mereka hanya didukung 45 % kursi di parlemen. Sedangkan parpol pendukung Ganjar dan Anies mencapai 55 % atau 314 kursi di Parlemen, yang berarti posisi Jokowi dan Prabowo berada dalam ancaman politik yang sangat serius.
Jika keadaan politik nasional sudah sedemikian rupa, maka hanya ada satu kata untuk Jokowi selain menyerah dan segera tinggalkan panggung kekuasaan, sebelum pergerakan politik akan semakin membesar dan menghancurkan segalanya.
Bagi-Bagi Jabatan
Harus diingat, musuh Jokowi kali ini bukan hanya para parpol yang dicurangi, namun juga kelompok-kelompok ekstrem baru yang akan tumbuh menjamur di tengah masyarakat, akibat ketidak adilan dan pemiskinan yang diciptakan Jokowi. Harga kebutuhan pokok kian meroket, sedangkan Jokowi malah lebih sibuk bagi-bagi jabatan di istana.
Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri dan Mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla sedang mengagendakan pertemuan khusus. Jika nanti para menteri dari PDIP, Nasdem, dan PKB ditarik dari Kabinet, maka Rezim Jokowi akan guncang. Rakyat yang lapar akan menyatu dengan pergerakan civitas akademika dan mahasiswa di jalanan. Jika sudah demikian tunggu apalagi selain tergulingnya Rezim Jokowi...(SHE).
26 Februari 2024.
Penulis adalah pengacara dan pengamat politik, serta dewan penasehat dan dewan pakar di berbagai media massa online nasional dan daerah. [Benhil]