Oleh: Saiful Huda Ems.
Saat ini cara melakukan survei adalah dengan membagikan bansos (bantuan sosial) pada rakyat, mengawalnya dengan aparat, kemudian meminta rakyat menjawab survei. Dengan cara seperti itu rakyat akan terintimidasi dan mengikuti apa yang dikehendaki oleh rezim yang keji.
Cara pengkondisian survei yang memaksa rakyat untuk memilih pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) yang dikehendaki penguasa (seperti alinea 1) sangat norak dan tidak mendidik.
Bahkan Rezim Presiden Soeharto yang terkenal diktaktor tidak pernah melakukan tindakan memalukan seperti itu. Sejauh yang saya tahu, rezim yang juga disebut orba (orde baru) itu hanya menginginkan untuk mengangkat 60% dari wakil rakyat yang akan menempati posisi Lembaga Legislatif.
Namun saat berkuasa, Soeharto tidak pernah menyalonkan anak-anaknya untuk menjadi capres atau cawapres yang akan dipilih MPR, apalagi melakukannya dengan cara melanggar Peraturan Perundang-undangan. Soeharto nyaris tidak pernah melakukan perbuatan serendah itu.
Berbeda dengan itu, sekarang Rezim Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah merusak dan mengaburkan demokrasi melalui berbagai survei dengan cara intimidasi itu.
Survei-survei yang saya pribadi menyebut survei ilusi itu terus menerus digencarkan, bahkan setiap dua minggu sekali lembaga-lembaga survei merilis hasilnya, yang tidak lain dan tidak bukan untuk menggiring opini dan meneror rakyat agar mengikuti kemauan penguasa.
Telanjang Memihak
Meski di berbagai kampanye besar dan terbuka yang dilakukan kubu Capres Prabowo Subianto dan Cawapres Gibran Rakabuming Raka (putra sulung Jokowi) sering sepi pengunjung, anehnya lembaga-lembaga survei tertentu menempatkan elektabilitas paslon (pasangan calon) di Pilpres (pemilihan presiden) 2024 itu pada urutan paling atas. Bahkan ada beberapa lembaga survei yang sudah semakin "telanjang" atau kentara mempertontonkan keberpihakannya dengan merilis elektabilitas Prabowo-Gibran diatas 50%. Jika mengacu dari hasil rilis itu, artinya pilpres hanya akan terjadi satu putaran dengan kemenangan telak paslon tersebut.
Pada era kapitalisme seperti saat ini, suatu hal yang lumrah jika keluarga penguasa dan kaum pemodal bekerja sama untuk menguasai banyak sektor dan lini kehidupan perekonomian dan politik. Namun jika hal itu dilakukan dengan cara-cara yang brutal, melanggar konstitusi, dan melupakan etika bernegara, maka hal itu menjadi preseden yang sangat memalukan untuk kehormatan bangsa dan negara.
Apalagi dalam konteks Pilpres 2024 yang sarat manipulasi dan terjadi campur aduk wewenang seorang Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan seperti yang terjadi sekarang ini, di mana penguasa tidak hanya telah melakukan pelanggaran UU No.30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan, dan pelanggaran terhadap UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, serta pelanggaran TAP MPR RI No.XI Tahun 1998 dan UU No.28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari KKN, namun juga pastinya akan berpotensi menimbulkan kekacauan dan kerusuhan yang disertai dengan kekerasan (violence) di masa mendatang.
Mari kita jernihkan kembali demokrasi kita... (SHE).
31 Januari 2024
Penulis adalah pengacara dan pengamat politik. [Benhil]