Oleh: Saiful Huda Ems.
Akademisi, Ketua Umum PBB (Partai Bulan Bintang), dan Tim Sukses Prabowo-Gibran, Profesor Yusril Ihza Mahendra menyatakan; UU kita tidak menyatakan Presiden harus netral, tidak boleh berkampanye dan tidak boleh memihak. Ini adalah konsekwensi dari Sistem Presidensial yang kita anut, yang tidak mengenal pemisahan antara Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan, dan jabatan Presiden yang maksimal dua periode sebagaimana diatur oleh UUD 1945.
Sepintas jika diperhatikan pernyataan Yusril yang membenarkan Presiden boleh kampanye dan boleh tidak netral, yang didasarkannya pada Konstitusi hasil amandemen pertama sampai ke empat, dan Undang-Undang (UU) N0.17/2017 itu seolah wajar dan dapat dibenarkan. Bahkan sebetulnya dia bisa menambahkannya lagi dengan ketentuan UU NO.39/1999 Tentang Hak Asasi Manusia (HAM), khususnya di Pasal 23 ayat (1) yang berbunyi; "Setiap orang bebas untuk memilih, dan mempunyai keyakinan politiknya."
Namun ingat, masyarakat selama ini sudah sangat mengetahui kalau Presiden Joko Widodo (Jokowi) diam-diam telah memanfaatkan dengan baik hak politiknya yang diatur oleh konstitusi dan beberapa UU itu. Itu sangat sarat dengan pelanggaran, yang bukan hanya bersifat etik ataupun normatif, melainkan juga bersifat administratif dan pidana (kriminal).
Keberpihakan presiden yang dimanifestasikan dalam bentuk kebijakan atau keputusan (baik secara langsung dan tidak langsung) misalnya, presiden telah nyata menggunakan instrumen kekuasaan yang dimilikinya untuk mendukung dan memenangkan pasangan paslon (pasangan calon) tertentu, yakni Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka. Ini fakta yang sudah menjadi rahasia umum.
Kenyataan ini sebenarnya telah menjerumuskan Jokowi sendiri pada penyalahgunaan wewenang dan kekuasaannya sebagai presiden yang merupakan kepala negara sekaligus kepala pemerintahan. Jika tidak demikian, tentu atmosfir perpolitikan di Indonesia beberapa bulan belakangan ini tidak akan dipenuhi berbagai protes dan aksi dari para akademisi, politisi, dan budayawan.
Jokowi telah mencampuradukkan kewenangannya sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan. Maka ayah Cawapres (calon wakil presiden) Gibran Rakabuming Raka itu bisa dianggap telah melanggar UU, sebagaimana yang dimaksud dalam UU NO.30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan, khususnya yang tertera di Pasal 17 ayat (2) huruf (a,b, dan c). Tindakannya itu, jika tidak cukup dianggap telah melakukan pelanggaran etis dan norma sosial, karena Presiden harusnya adil, netral dan mengayomi semua pihak, juga bisa dianggap melakukan pelanggaran UU NO.7/2017.
Tidak Ada Hubungan Keluarga
Presiden dan wakil presiden memang diperbolehkan untuk berkampanye dalam pilpres maupun pileg, akan tetapi dalam Pasal 299 ayat (1) UU NO.7/2017 Tentang Pemilu itu sudah tegas dinyatakan, bahwa presiden mempunyai hak melaksanakan kampanye SEPANJANG TIDAK TERKAIT HUBUNGAN KELUARGA SEDARAH/SEMENDA SAMPAI DERAJAT KETIGA, atau hubungan suami atau istri meskipun telah bercerai dengan pasangan Calon.
Pertanyaannya sekarang, Apakah Gibran ada hubungan darah dengan Jokowi atau tidak? Jika tidak, memangnya Gibran anak siapa? Oke, masihkah belum cukup juga banyaknya UU yang dilanggar oleh Jokowi? Baiklah, saya tambahkan lagi. Jokowi ternyata bukan hanya melanggar UU NO.30/2014 Tentang Administrasi Pemerintahan, dia juga melanggar UU NO.17/2017 Tentang Pemilu dan juga telah melanggar TAP MPR NO.XI/1998, serta juga melanggar UU NO.28/1999 Tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas Dari KKN.
Dari sekian banyak UU yang dilanggar Jokowi, saya pikir upaya untuk melindungi perangai politiknya yang akhir-akhir ini sangat norak dan brutal hanya dengan berlindung di balik kelemahan UUD 1945 yang sudah empat kali diamandemen tidaklah cukup! Rakyat ternyata jauh lebih dulu tahu dan cerdas menyikapinya. Jadi jangan heran kalau kepercayaan publik pada kinerja Jokowi (yang menurut survei konsultan politiknya berada di angka 75 sampai 80 % itu) tidak setara dengan survei perolehan elektabilitas Prabowo-Gibran yang selalu berhenti dan stagnan di angka 40% ... (SHE)
26 Januari 2024.
Penulis adalah pengacara dan pengamat politik. [Benhil]