Oleh: Saiful Huda Ems
Lawyer dan Pengamat Politik
Bangsa Indonesia patut bersyukur, karena diujung masa Pemerintahan Jokowi, kelompok Nasionalis di bawah kepemimpinan Capres-Cawapres Ganjar Pranowo-Mahfud MD, berhasil menyelesaikan silang sengketa ideologisnya dengan kelompok religius di bawah kepemimpinan Capres-Cawapres Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar.
Olehnya tidak pernah kita dengar lagi gerakan-gerakan politik identitas, tidak pernah kita dengar lagi gelut politik antara cebong vs kadrun, karena semuanya sedang bergerak menuju Indonesia.
Menariknya, dua kelompok ini sekarang melebur dalam satu kesatuan pergerakan, yakni kritis kooperatif yang bersayapkan oposisi nasionalis dan religius.
Suatu hal yang sangat mewah dan baru terjadi lagi semenjak wafatnya KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang dahulu membangun koalisi oposisi besar bersama Megawati Soekarno Putri, yang berhasil membangun gerakan civil society yang dahsyat dan mampu menggulingkan kediktatoran rezim Soeharto.
Bersatunya kekuatan oposisi nasionalis dan religius ini, tentu sedikit banyak telah membuat tulang-tulang kekuatan rezim cawe-cawe bersama capres-cawapres pelanggar berat HAM dan pelanggar berat konstitusi gemetaran, sampai kemudian surveyor-surveyor bayarannya kalap dan kampanye menang Pilpres 1 putaran secara mati-matian terus dikoar-koarkan.
Tak hanya itu, momentum kekalahan telak capresnya di ajang debat Pilpres ketiga, pun didramatisir dan dibolak-balik sedemikian rupa, sehingga para pendukungnya dipaksa untuk mengeluarkan air matanya, seolah-olah capresnya sedang dihina dan dilecehkan oleh Capres Nomor Urut 1 dan 3.
Survei yang dirilis dua minggu sekali, jelas bentuk kepanikan sekaligus propaganda yang dipaksakan. Namun nyatanya mereka dengan berbagai trik tipuan dan penggiringan opininya, tidak pernah berani menyatakan capres yang dijualnya mampu meraih elektabilitas hingga di atas 50 %.
Padahal, rezim cawe-cawe dan pecatan jenderal yang berlumuran darah para Aktivis '98 itu sudah mengerahkan segala kekuatannya untuk mendorong bagi kemenangan kubunya.
Inilah yang kemudian menjadikan surveyor yang berada di kubunya, yakni Burhanudian Muhtadi sampai nekat mengatakan hal yang sesungguhnya, bahwa Pilpres 2024 ini akan terjadi dua putaran.
Kalau Pilpres 2024 terjadi sampai dua putaran, itu artinya rilis survei yang menyatakan tingkat kepuasan rakyat terhadap pemerintah mendekati 80 persem hanyalah bualan.
Bahwa pasangan capres-cawapres nomor urut 2 Prabowo-Gibran elektabilitasnya di atas 40 bahkan 45 %, tak lain dan tak bukan merupakan tanda, bahwa rakyat sudah mulai berpikir ingin mencari calon pemimpin alternatifnya, yang dapat membuat terobosan-terobosan kebijakan baru yang rasional dan menjanjikan, bukan hanya sebatas bagi-bagi susu dan makan siang gratis, yang lebih cocok ditawarkan untuk para bocil. Jika bukan karena itu, tentunya hasil elektabilitas mereka akan mencapai setidaknya 75 persen bukan?
Kebangkitan oposisi nasionalis dan religius yang kompak mau melindungi Pilpres yang bebas, jujur dan adil tanpa intervensi penguasa, merupakan sebuah bukti sekaligus interupsi sejarah, bahwa rezim yang ikut cawe-cawe bukan untuk kemaslahatan bangsa dan negara, melainkan hanya untuk melanggengkan dinasti politiknya, pasti akan mendapatkan perlawanan dari rakyatnya yang sudah tercerahkan baik secara politik maupun moral.
Karenanya jangan heran, begundal-begundal politik itu satu persatu kepanasan dan keluar dari partainya, untuk meloncat ke kubu yang sejahanam dengan tabiatnya.
Megawati Soekarnoputri pelopor pergerakan Reformasi '98 yang sejati, seperti tengah dijaga oleh tangan keadilan untuk dilindungi dari aktivis-aktivis pelacur ideologis yang bergerak secara rahasia di partainya.
Di balik gaya orasinya yang kadang terlihat kekak-kanakkan, beliau sesungguhnya pejuang dan penjaga konstitusi yang belum tertandingi hingga saat ini. Maka jangan heran, seberapapun kuatnya tarikan penguasa untuk menggiring TNI dan Polri agar mengikuti arah kepentingan politik kekuasaannya, TNI dan Polri akan tetap diam-diam mengikuti komando Megawati yang sudah teruji dalam sejarah.
Angkatan Laut dan Angkatan Udara sejak dahulu kala sudah menjadi loyalis Soekarnois yang selalu terbukti menjiwai semangat pertahanan dan kedaulatan NKRI.
Kostrad semenjak terjungkalnya rezim Soeharto, dan yang merupakan satuan elit Angkatan Darat, sudah lama menaruh hormat pada kesetiaan kepada Megawati Soekarnoputri dalam melahirkan politisi-politisi ideologis dan berkualitas penjaga Pancasila dan NKRI.
Polri yang meskipun Kapolrinya diduga mau mencoba-coba menggiring opini memilih capres yang didukung Jokowi, tidak akan pernah kehilangan solidaritasnya, bahwa Capres Ganjar Pranowo merupakan anak Polisi dan keluarga ulama yang saat ini maju untuk menjadi capres yang didampingi sosok ahli hukum dan ahli agama yang teruji keberaniannya menghancurkan pergerakan para mafia.
Dari sini kita bisa melihat, kenapa prajurit-prajurit itu sekarang menjadi diam, tidak lagi brutal seperti sebelumnya, meskipun knalpot brang-brong itu berlalu lalang di depan markasnya. Test case rupanya berhasil, bahwa tongkat komando itu sedemikian efektif untuk meredam sebuah tindakan.
Saya berkata dalam hati, cerdas sekali oposisi nasionalis itu memainkan perannya. Ya, mungkin kesadaran revolusioner itu telah tiba dan menyelimuti jiwa prajurit, bahwa anggaran ratusan miliar di Kemenhan itu tak menemukan sasarannya yang tepat, bahkan terindikasi ada banyak penyimpangan.
Dalam benaknya mungkin berkata, kenapa tidak kita lindungi capres yang siap mensejahterakannya, dan terbukti sanggup menggalang persatuan dan kesatuan rakyat yang beraneka ragam kemauan dan ideologinya. Sapere aude ! Beranilah berfikir. [Benhil Online]