Oleh: Saiful Huda Ems.
Ada banyak pendapat mengenai betapa rumit dan panjangnya proses pemakzulan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Mulai dari syarat-syarat konstitusional yang harus dipenuhi, hingga masih terbatasnya pelaku perubahan yang menginginkan proses pemberhentian kepala negara tersebut.
Saat Amin Rais menjabat sebagai Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI, dia telah melakukan amandemen terhadap UUD 1945 sebanyak empat kali. Aturan yang membahas pemakzulan presiden dibuat lebih rumit dan memakan waktu sangat lama, yakni anggota DPR RI yang hendak memakzulkan presiden harus melalui Mahkamah Konstitusi (MK) terlebih dahulu melalui Sidang Istimewa MPR RI.
Sedangkan yang menjadi kendala untuk melancarkan wacana pemakzulan presiden saat ini yaitu saudara ipar Jokowi, Anwar Usman masih bertugas sebagai anggota MK. Meskipun Usman mungkin tidak akan bisa tampil penuh mengikuti persidangan para hakim MK.
Situasi itu berbeda dengan saat Anwar Usman masih menjabat sebagai Ketua MK di mana dirinya dengan mulus telah meloloskan keponakannya atau putra sulung Jokowi (Gibran Rakabuming Raka) untuk menjadi cawapres (calon wakil presiden) mendampingi Prabowo Subianto melalui Keputusan MK No. 90/2023.
Pemakzulan Presiden RI Sebelumnya
Namun jangan lupa sejarah serupa di negeri ini, yakni beberapa presiden digulingkan justru tidak oleh atau lewat gerakan parlemen atau gerakan konstitusional, melainkan oleh atau lewat gerakan ekstra parlemen dan ekstra konstitusional, seperti yang terjadi pada Penggulingan Rezim Soeharto tahun 1998.
Sebenarnya poin penting yang dibutuhkan dari gerakan ekstra konstitusional itu hanya perlu berbekal usaha untuk meyakinkan masyarakat kalau upaya untuk memakzulkan Jokowi adalah sudah benar dan tindakan tersebut merupakan kegentingan yang memaksa atau mendesak. Dengan begitu gerakan itu akan didukung penuh dari rakyat.
Gerakan ekstra konstitusional itu berbeda dengan inkonstitusional karena gerakan itu merupakan hak yang dimiliki individu atau warga negara secara inheren. Terlepas dari masalah apakah hak tersebut tercantum dalam konstitusi atau tidak.
Saya mengamati, ide pemakzulan Presiden Jokowi itu baru sebatas disuarakan oleh beberapa pihak yang berada di kubu Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (AMIN). Meskipun begitu, "kegerahan politik" itu juga banyak dirasakan kubu Ganjar Pranowo-Mahfud MD yang sebenarnya banyak menerima perlakuan tidak adil dan tidak wajar oleh Rezim Dinasti.
Namun yang paling penting saat ini adalah usaha keras untuk menciptakan Pilpres (Pemilihan Presiden) 2024 yang adil, tertib, damai, dan aman harus terus menerus kita upayakan. Selain itu, juga perlu terus mengingatkan pada Pemerintahan Jokowi agar bersikap netral dan tidak memihak calon presiden yang berpasangan dengan Putra Jokowi sendiri... (SHE)
20 Januari 2024
Penulis adalah pengacara, pengamat politik, dan sarjana hukum tata negara (HTN). [Benhil]