Calon Presiden nomor urut 3 Ganjar Pranowo mengaku sudah punya cara mengatasi minimnya bahan baku industri farmasi dan alat kesehatan dalam negeri. Hal ini membuat Indonesia sangat bergantung pada produk impor.
Ganjar mengatakan, pengembangan industri kimia dasar harus segera dimulai. Karena itu, program nyata yang harus diwujudkan adalah membangun kawasan industri kesehatan untuk menjadi penopang kemandirian Indonesia terhadap industri alkes dan farmasi.
Sayangnya, kawasan industri kesehatan tersebut belum dilirik. Padahal, Indonesia memiliki sejumlah potensi. Kebijakan bahan baku farmasi dan alat kesehatan saat ini masih harus dikalahkan dengan kemudahan melalui impor.
"Plasma nutfahnya sudah oke luar biasa, perisetnya sudah ada, siapa yang memungut itu dalam meja pengambilan keputusan. Tidak ada?" tuturnya.
Dia menegaskan, jawaban dari segala polemik di industri farmasi dan alat kesehatan adalah pengembangan research and development (R&D).
Ganjar berjanji bakal mengalokasikan 1% untuk R&D Indonesia dari Produk Domestik Bruto (PDB) untuk mendorong pengembangan bahan baku industri dan alat kesehatan dari dalam negeri.
“Sekarang kita mulai dengan alokasi 1% saja untuk riset dan development [pengembangan] Indonesia dari PDB [produk domestik bruto], kita dorong kemudian agar biaya risetnya itu mencukupi. Risetnya sudah, Pak di BRIN," ungkap Ganjar dalam dialog dengan KADIN di Jakarta, Kamis (11/1).
Dia menambahkan, polemik kebutuhan alkes yang tidak diimbangi dengan alokasi anggaran sudah dialaminya saat menjabat sebagai gubernur selama 10 tahun.
Dalam menyusun anggaran, permintaan tertinggi datang dari kebutuhan alkes. Namun, justru banyak masalah juga datang dari industri tersebut.
Dengan pengalaman itulah Ganjar berkomitmen untuk menghentikan dan segera mengatasi situasi minimnya alkes dan bahan baku farmasi di Indonesia. "Suka tidak suka kita harus memulai kimia dasar, petrokimia," ungkapnya.
Respon Ganjar tersebut menjawab pertanyaan Ketua Komite Tetap Alat Kesehatan Kadin Indonesia Radin Teguh.
Radin menjelaskan bahwa pandemi Covid-19 menjadi pukulan bagi industri farmasi dan kesehatan Indonesia yang 90% bahan baku komponen masih tergantung pada impor.
"Kita ketahui, industri farmasi, kimia dasar, komponen, sangat tergantung kepada industri kimia dasar dan petrokimia. Data di negara tetangga Vietnam mereka punya 29 industri petrokimia, sementara indonesia baru 4," terangnya.
Sementara itu, riset dan pengembangan khususnya di industri alat kesehatan masih mendapatkan dana riset yang minim, yakni 0,05% dari PDB, sedangkan negara maju lainnya rata-rata mendapatkan 3% dari PDB.
Kemudian pertumbuhan industri petrokimia di Indonesia pun kalah sama negara tetangga. Data menyebutkan di Vietnam sudah punya 29 industri petrokimia sementara Indonesia baru punya empat. [Benhil Online]