Sejumlah aktivis pro demokrasi, mahasiswa serta orang tua korban menolak calon Presiden yang terlibat pelanggaran HAM. Hal ini diungkapkan dalam diskusi bertema "Refleksi 9 Tahun Presiden Jokowi dalam Penyelesaian Kasus HAM" yang diadakan oleh Lingkar Mahasiswa Semanggi dan Aliansi Korban Kekerasan Negara (AKKRA) di Jakarta pada 29 Desember 2023.
Savic Ali, Direktur NU online, menyampaikan bahwa pelanggaran HAM dapat dituntaskan bila penguasa mempunyai komitmen untuk menyelesaikan.
"Menyelesaikan kasus memang tidak mudah, tapi bila penguasa tidak punya komitmen maka kasus cenderung dilupakan," ujarnya.
Savic juga mengkritisi Kepres no 17 tahun 2022 tentang Pembentukkan Tim Non Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu
"Kepres ini bentuk ketidakmampuan pemerintah untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM dengan adil," tegas Savic.
Baca juga: Panwaslucam Pasekan Pastikan Pendistribusian Logistik Pemilu Sesuai Jadwal dan Tepat Jumlah
Aktivis 98 ini juga menceritakan , pada tahun 2014, saat Joko Widodo terpilih menjadi Presiden, publik mempunyai harapan kasus pelanggaran HAM dituntaskan. Tapi nyatanya sekarang Jokowi malah mendukung calon presiden Prabowo Subianto yang terlibat pelanggaran HAM.
"Seharusnya karir politik Prabowo sudah tamat. Realitas politik yang kita hadapi sekarang ini jelas bahwa penyelesaian kasus HAM akan lebih bisa diharapkan bila Prabowo bukan presiden," tambah Savic.
Sementara itu, aktivis 98 lainnya, Bona Sigalingging mengajak publik mencermati Kepres 17 tahun 2022 tentang Pembentukkan Tim Non Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu termasuk Inpres 2 tahun 2023 Tentang Penyelesaian Rekomendasi Penyelesaian Non Yudisial Pelanggaran HAM Berat dan Kepres 4 tahun 2023 tentang tim pemantau pelaksanaan rekomendasinya.
Menurut Bona, Kepres tersebut menghilangkan satu elemen pengungkapan yang sangat penting dalam kasus pelanggaran HAM Berat Masa Lalu yaitu pelaku.
"Adanya korban berarti harus ada pelaku. Meniadakan pelaku membuktikan bahwa proses pengungkapan kasus HAM berat masa dalam mekanisme non yudisial tidak serius dan membuktikan takluknya negara pada mereka yang patut diduga sebagai pelanggar HAM Berat," tutur Bona.
Alumnus Atma Jaya ini juga mengingatkan risiko tidak lengkapnya pengungkapan ini akan membuat berulangnya kasus yang sama pada masa depan.
"Mekanisme penyelesaian non yudisial ini adalah bukti bahwa negara melakukan pengingkaran yang terorganisir terhadap pelanggaran berat HAM masa lalu. Sejumlah orang yang patut diduga pelaku pelanggaran HAM justru dibiarkan mengisi posisi penting di militer, kepolisian, ataupun pejabat publik di kementerian bahkan calon presiden," tambah Bona.
Sementara Asih Widodo, orang tua dari Sigit Prasetyo, korban tragedi Semanggi I mengingatkan penuntasan kasus pelanggaran HAM masa lalu dan tidak memilih pelanggar HAM untuk memimpin bangsa ini.
"Siapa yg menembak anak saya harus dihukum. Masak kejahatan kecil aja dihukum, tapi pembunuhan mahasiswa tidak? UUD 45 kan mengatur semuanya. Tugas tentara kan sebagai pertahanan bukan membunuh. Jangan sampai pelanggar HAM malah jadi pemimpin," tutupnya. [Benhil Online]