Judul di atas bisa jadi menggelitik siapa saja yang menjadi penikmat minuman keras (miras). Mari kita telaah lebih dalam, apakah wine dan whiskey lokal bisa membuat yang mengonsumsi terlibat kriminal?
Dalam banyak kasus, kepolisian selalu mengaitkan tindak kejahatan dengan perilaku menenggak miras sebelumnya. Hal itu membuat pihak keamanan selalu bersikap antisipasif dengan mengamankan (menutup) lapak-lapak wine dan whiskey lokal.
Tindakan tersebut menjadi efek domino karena para pemilik lapak miras pada umumnya adalah masyarakat menengah ke bawah yang mencoba mengais rejeki dari 'air kedamaian' itu. Belum lagi produsen miras lokal yang biasanya hanya industri kecil rumahan. Ditambah lagi nasib para pegawai yang menggantungkan hidup di pabrik miras.
Sebenarnya produk wine dan whiskey lokal termasuk kuliner yang digemari masyarakat, meskipun tidak secara terang-terangan karena dianggap identik dengan minuman yang dekat dengan dunia kriminal.
Produk wine lokal itu yang populer adalah Congyang dan Anggur Merah. Sedangkan whiskey lokal yang banyak di pasaran ber-merk Topi Miring. Namun wine lokal masih jadi primadona karena rasa manisnya lebih akrab di lidah orang Indonesia.
Kembali ke pemberantasan minuman keras karena dianggap sumber maksiat, apakah hal itu efektif mengurangi angka kriminalitas? Pantauan Benhil, angka kejahatan turun karena ekonomi Indonesia semakin baik dalam 20 tahun terakhir ini.
Pemberantasan miras hanya membuat jumlah penikmatnya turun dan juga lapak-lapak yang menjualnya semakin berkurang. Efeknya, roda perekonomian juga melambat.
Di sebuah warung yang menyediakan liquor murah di kota besar S, banyak sekali yang membeli miras tersebut untuk kemudian menikmatinya secara sembunyi-sembunyi (bukan di tempat umum), sebagaimana pengakuan Nano (28 tahun) yang membeli 2 botol besar Congyang dan 1 botol Bir Bintang.
"Ini saya minum dengan teman-teman di kos-kosan," ujar pria yang mengaku bekerja di sebuah Supermarket kepada Benhil, Minggu, 3 Desember 2023.
Nano merasa tidak enak dengan banyak orang kalau dia minum miras di luar ruangan.
"Nanti orang takut dikira mau reseh [bertindak kriminal]. Bisa-bisa dipanggilkan polisi," ucapnya.
Toni (50 tahun) yang biasa menjual Congyang di warung dan toko, menampik kalau miras menjadi sumber kejahatan.
"Saya menjual banyak miras ke berbagai tempat. Kalau minuman keras itu memicu kriminal, pasti bakal banyak kejahatan di sekitar warung yang saya setor miras itu. Nyatanya, selalu aman-aman saja," ujar pria yang menghidupi keluarga dari menjual wine lokal itu.
Ada Pemicu Lain
Kriminolog Adrianus Meliala juga menyatakan tindakan kriminal tidak berhubungan langsung dengan konsumsi miras. Kejahatan kerap disertai pemicu lain.
"Korelasi langsung tidak ada. Selalu ada variabel antara lain rasa marah, dendam, akses senjata, niat jahat, dan lain-lain," ujarnya pada awak media.
Dalam masyarakat modern (Barat) miras tidak bisa dijadikan alasan seseorang bertindak jahat karena setiap orang bertanggung jawab atas perbuatan yang mereka lakukan.
Efek yang diberikan oleh liquor adalah tidak mampu mengendalikan diri. Logikanya, kalau tidak ingin dirinya kehilangan kendali, ya jangan minum miras.
Bukan malah minum miras untuk sarana tindak kejahatan untuk kemudian minuman keras yang disalahkan. [Benhil]