Oleh: Saiful Huda Ems.
Tahun 2009, beberapa bulan sebelum Pilpres (pemilihan presiden) 2009, Jenderal TNI (Purn) Wiranto pernah berbicara tentang prediksi kemenangannya di depan kami di Hotel Hyatt, Jakarta.
"Pak JK [Jusuf Kalla] dan saya akan menang karena saya sudah tahu benar peta politik 2009 ini. Pertempuran politik 2009 ini saya ibaratkan dengan suasana latihan perang gabungan TNI dan Amerika Serikat di Kepulauan Natuna. Pasukan darat kita akan menyerang seperti ini, Pasukan Udara kita akan menyerang seperti itu," ujar Wiranto saat itu.
Namun pada kenyataannya apa yang terjadi? Pasangan calon (paslon) Capres (calon presiden) JK dan Cawapres (calon wakil presiden) Wiranto kalah di Pilpres 2009.
Demikian pula dengan Jenderal-Jenderal TNI purnawirawan lainnya, sebut saja Jenderal TNI (Purn) Djoko Santoso, Jenderal TNI (Purn) Gatot Nurmantyo, dan lain lain. Saat mau menghadapi Pilpres 2014 dan 2019, semuanya mengemukakan analisa politiknya dan memiliki keyakinan kuat akan kemenangannya, namun pada kenyataannya, mereka semua (kecuali Prabowo Subainto) jangankan menang pilpres, lolos jadi capres atau cawapres 2014 dan 2019 saja tidak.
Dari berbagai pengalaman ini, saya berkesimpulan bahwa meskipun mereka semua Jenderal, akan tetapi jika bicara tentang analisa sosial atau politik, tidak selamanya tepat. Bahkan dari beberapa pertemuan yang pernah saya ikuti, mereka semua membuat prediksi atau analisa politik yang sangat keliru.
Jangan salah, mereka semua memang mahir di bidang kemiliteran, namun jika sudah menerjuni politik, kebanyakan jadi gagap. Prabowo sendiri berkali-kali kalah dalam pertarungan pilpres bukan? Mulai dari ikut Konvensi Capres Golkar yang kandas di menjelang Pilpres 2004, lalu ikut Pilpres di 2009, 2014 dan 2019 juga selalu kalah.
Prediksi Prabowo-Gibran Menang
Oleh karena itu, ketika saya mendengar pernyataan Jenderal TNI (Purn) Hendropriyono yang memprediksi kemenangan Paslon Prabowo-Gibran di Pilpres 2024 ini, saya menanggapinya secara santai saja. Mengapa? Karena dari berbagai pengalaman yang saya lalui, saat saya bertemu secara khusus dengan beberapa Jenderal untuk kemudian mereka mengemukakan analisa politiknya, gak ada satupun yang tepat alias meleset semua. Padahal level kepangkatan mereka semua itu di atas Prabowo. Mereka umumnya adalah mantan panglima TNI, ada juga sebagian mantan KASAD, sedangkan Prabowo hanyalah mantan Danjen Kopasus yang mengakhiri karier politiknya dengan dipecat.
Selain itu, dahulu setiap menjelang pilplres juga selalu ada mantan Kepala BIN (Badan Intelejen Nasional) yang bicara soal analisa politiknya, tapi umumnya analisa mereka juga salah. Entah karena murni kekeliruan analisa politik atau karena berbeda kepentingan. Politik itu tidak hanya tentang jam terbang, tapi juga tentang kejelian dan ketajaman memantau pergerakan sosial dan politik rakyat di berbagai tingkatannya.
Untuk soal analisa politik ini, orang-orang sipil malah sering yang lebih tajam dan lebih tepat. Mungkin karena mereka sudah terbiasa bebas mempelajari dan mengemukakan pendapatnya. Sedangkan orang-orang militer biasanya tidak leluasa mempelajari dan mengemukakan pendapat karena selain sibuk dengan tugas-tugas kemiliteran semenjak muda, mereka juga sudah terbiasa manut pada pimpinannya. Itulah sebabnya orang-orang militer jarang sekali yang bisa berpikir out of the box.
Oh ya, kenapa dulu Jenderal TNI (Purn) Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) selalu menang di Pilpres 2004 dan 2009? Jawabnya karena keberuntungan. Konon kata mantan-mantan orang dekat SBY, kemenangannya saat itu karena akal-akalan.
Jika mau lihat aslinya SBY, lihatlah sekarang. Dia sudah berusaha mati-matian mengorbitkan anaknya Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), namun tidak ada satupun capres yang mau menerimanya sebagai cawapres. Inilah fakta sesungguhnya kemampuan berpolitik dan analisa politik SBY yang sebenarnya sangat lemah. Wallahu a'lam. (SHE).
21 November 2023.
Penulis adalah pengacara dan pengamat politik. [Benhil]