Akhir-akhir ini beberapa pihak mengajukan nama Sultan Hamid II sebagai pahlawan nasional baik di media tulis atau di media sosial. Ternyata beberapa hal berikut ini yang membuat permintaan itu sulit untuk diluluskan.
Salah satu yang gigih memperjuangkan gelar pahlawan nasional pada pria bernama lengkap Syarif Abdul Hamid Alkadrie adalah Anshari Dimyati. Anshari yang menjabat Ketua Umum Yayasan Sultan Hamid II itu mengaku telah mengajukannya sejak 2016, tapi hingga kini belum mendapat gelar tersebut.
Sultan Hamid II pantas mendapat gelar pahlawan nasional, menurut pihak yang memperjuangkannya, adalah karena jasanya merancang lambang Garuda Pancasila.
Pengkhianat dan Antek Belanda
Namun apakah benar seperti itu faktanya? Ternyata tidak.
Bukti sejarah menunjukan keterlibatan pria kelahiran Pontianak 1913 itu pada peristiwa Pemberontakan APRA (Angkatan Perang Ratu Adil). Itu adalah insiden kudeta militer yang terjadi di Bandung pada 23 Januari 1950 yang dilakukan serdadu KNIL (Koninklijk Nederlands-Indische Leger) dengan pimpinan Kapten Raymond Westerling.
Peran Sultan Hamid II dalam kudeta itu adalah menyusun rencana penculikan terhadap sejumlah menteri dalam kabinet RIS, bekerja sama dengan Westerling untuk menguasai Bandung, dan mengangkat dirinya sebagai Menteri Pertahanan RI.
Setelah kudeta berhasil digagalkan nama Sultan Hamid II tenggelam begitu saja, tanpa ada kabar proses hukum terhadap dirinya.
Bagaimana dengan klaim sebagai perancang lambang Garuda Pancasila? Sejarawan Anhar Gonggong punya keterangan yang mematahkan hal itu.
Berikut ini pendapat dari Sejarawan Universitas Leidan tersebut;
PascaProklamasi Kemerdekaan, Pemerintah RI membentuk tim untuk merancang lambang negara dengan ketua saat itu Ki Hajar Dewantara. Saat seleksi model lambang garuda dan bendera, terdapat 2 kandidat pemenang, yaitu karya M. Yamin dan Sultan Hamid II.
Namun menurut Ki Hajar, karya Yamin masih kental dengan budaya Jepang. Maka karya Sultan Hamid II yang dianggap lolos.
Saat Presiden Soekarno melihat karya Sultan Hamid II, dia masih ragu dan menganggap karya itu belum sempurna. Maka Soekarno memanggil seorang seniman bernama Dullah yang ditugasi untuk memperbaiki lambang Garuda dari Yamin dan Sultan Hamid II. Karya Dullah itulah yang menjadi Lambang Garuda hingga saat ini.
Alasan lain para sejarawan menolak gelar pahlawan bagi Sultan Hamid II adalah karena saat pangkatnya dinaikan dari Kolonel menjadi mayor jenderal (mayjen) yang dilaksanakan di Belanda dan oleh Pemerintah Belanda, pada waktu bersamaan Tentara Belanda sedang berperang dengan rakyat Indonesia yang memperjuangkan kemerdekaan. Peristiwa itu terkenal dengan istilah Agresi Militer Belanda.
'Ternyata antek Belanda dia,' tulis seorang netizen di media sosial. [Benhil]