Oleh: Saiful Huda Ems.
Mantan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Denny Indrayana (DI) mengirimkan surat kepada Mantan Presiden RI Megawati Soekarno Putri. Surat yang dikirim hari ini, Jumat, 2 Juni 2023 itu tersebar ke masyarakat lewat media sosial.
Secara garis besar, surat tersebut berisi dua permintaan pada Putri Proklamator Bung Karno itu, pertama, agar segera meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk menghentikan usaha penundaan Pemilu 2024. Sedangkan kedua, meminta menghentikan usaha Kepala Staf Presiden (KSP) RI Jenderal TNI (Purn.) Moeldoko yang sedang melakukan Peninjauan Kembali (PK) di Mahkamah Agung (MA) terkait konflik Partai Demokrat antara Moeldoko dengan AHY (agus Harimurti Yudhoyono).
Dalam surat tersebut, DI melontarkan isu politik yang pernah dihadapi partai yang dipimpin Megawati, PDIP.
'Cukuplah pencaplokan kedaulatan partai hanya terjadi di zaman Orba [orde baru] saja, dimana PDI yang dipimpin Ibu Megawati sebagai korbannya,' tulis DI.
Isi dari surat tersebut sangat tendensius (kalau tidak boleh disebut ngawur). Sangat disayangkan kalau yang mengirimkannya adalah seorang profesor hukum yang selayaknya sudah paham tentang hal itu.
Perihal permintaan pertama agar Megawati menghentikan Jokowi yang akan menunda Pemilu 2024 itu sangat mengada-ada. Hingga detik ini, Presiden Ri tersebut tidak pernah mengeluarkan regulasi soal penundaan Pemilu yang akan dilaksanakan tahun depan.
Sedangkan mengenai permintaan yang ke-2 tentang keberatannya pada kubu Moeldoko yang mengajukan PK ke MA itu memang sarat dengan kepentingan. DI yang menjabat sebagai menteri saat SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) menjadi Presiden itu disinyalir sedang memperjuangkan kubu AHY yang merupakan putra SBY.
DI yang dalam surat tersebut mengangkat isu pengambilalihan partai di masa orba itu seakan lupa kalau pemerintahan SBY juga melakukan hal serupa. Hal itu terjadi saat Bapak Bangsa Gus Dur disingkirkan dari PKB pada 2008 silam.
Terkait konflik Kepengurusan Partai Demokrat, meskipun Ketua Umum Partai Demokrat hasil KLB adalah Moeldoko yang menjabat sebagai kepala staf presiden, namun itu bukan berarti atas perintah Jokowi. kami sudah menjelaskan berkali-kali secara terbuka melalui berbagai media, mulai dari media daerah hingga nasional. Media-media tersebut telah mengekspos pemberitaan opini kami dengan tanpa beban sebagai isu penyeimbang dari kubu AHY.
Partai Mengada-Ada
Kami memilih mengambil tindakan karena hati nurani kami merasa terusik melihat negara telah dirugikan dengan menggelontorkan dana triliunan rupiah untuk mendanai partai politik (dalam hal ini Partai Demokrat), namun partai tersebut ternyata dikuasai oleh sebuah keluarga, yakni sang ayah SBY, serta dua putranya AHY dan Edhie Baskoro Yudhoyono (Ibas).
Fungsi Partai Demokrat yang dipimpin AHY telah mandul. Seharusnya organisasi itu memberi pendidikan politik untuk rakyat, menyuarakan aspirasi rakyat, mencetak kader-kader politisi unggul yang akan menjadi anggota dewan, dan lain-lain.
Pihak partai berlambang bintang segi tiga itu belum pernah menyampaikan pernyataan atau ide brilian untuk memajukan perekonomian, pendidikan, dan kesehatan rakyat. Seperti isi surat DI, isu yang diangkat Demokrat juga mengada-ada, seperti wacana Jokowi 3 periode, hukum yang tebang pilih, pengkritik dianggap musuh, dan lain-lain.
AHY sendiri terlalu memaksakan diri dan dipaksakan oleh ayahnya untuk menjadi Capres/Cawapres RI. Hal itu sangat tidak logis, mengingat dia adalah politisi pemula dan belum pernah jadi pejabat tingkat kecamatan, kabupaten, dan provinsi, serta tingkat pusat (Kepresidenan). Dengan pengalaman sangat minim, AHY merasa percaya diri untuk mencalonkan diri sebagai pemimpin bangsa besar ini.
Kembali ke surat DI yang ditujukan pada Megawati, bagi kami, tujuan surat itu adalah usaha adu domba antara Megawati, Jokowi, dan Moeldoko. Itu menjadi langkah prefentif murahan karena SBY mungkin sudah melihat kemenangan Capres 2024 Ganjar Pranowo. Ketika nanti tiga tokoh itu sama-sama bersuara kompak dan tampil di berbagai panggung kampanye di seluruh pelosok Nusantara, maka kemenangan bagi Ganjar Pranowo akan bisa diraih.
Apalagi, saat ini PDIP memiliki figur politisi handal dan berpengaruh, seperti Megawati, Jokowi, Ganjar, Ahok (Basuki Tjahaya Purnama), Risma, Gibran, dan lain-lain. Sedangkan figur Partai Demokrat pimpinan AHY lebih banyak bersuara sumbang daripada menawarkan ide brilian, seperti Ibas, Andi Arief, Roy Suryo, dan lain-lain.
Saran saya untuk DI, jika tidak punya ide yang bermanfaat, lebih baik tidak perlu melontarkan kegaduhan. Stop adu domba antara Megawati, Jokowi, dan Pak Moeldoko!
Atau mungkin DI sedang menghindar dari penangkapan polisi atas kasus yang sedang dihadapinya, sehingga berusaha merapat dan minta dukungan pada Megawati? Entahlah. (SHE)
2 Juni 2023
Penulis adalah ahli hukum dan Ketua Departemen Komunikasi dan Informatika DPP Partai Demokrat pimpinan Jenderal TNI (Purn.) Moeldoko. [Benhil]