Oleh: Saiful Huda Ems.
Saat ini banyak media yang memberitakan tentang Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang lebih mendukung Prabowo Subianto (PS) daripada Ganjar Pranowo (GP) untuk perhelatan Pilpres (pemilihan presiden) 2024. Sinyalemen itu diperkuat lagi dengan kabar Walikota Solo, Gibran Rakabuming Raka yang merupakan putra Jokowi yang turut mendukungan PS.
Hal itu menimbulkan spekulasi politik dari sebagian orang kalau Jokowi tidak menghendaki Pilres 2024 diikuti oleh tiga capres (calon presiden) karena dikhawatirkan bisa memenangkan Anies Baswedan (AB).
Berikut ini opini saya terhadap spekulasi politik tersebut, yaitu:
1. Menurut beberapa lembaga survei terpercaya, elektabilitas AB masih stagnan bahkan cenderung menurun. Dari hasil survey itu, Jokowi tidak perlu khawatir dengan kemenangan AB. Ditambah lagi, Partai Nasdem (yang mengusung AB sebagai capres) sedang menghadapi masalah besar. Kadernya di Kabinet (Menkominfo) terlibat korupsi trilunan rupiah dan sedang ditahan oleh Kejaksaan Agung.
2. Kita semua faham bahwa pendukung PS dan AB adalah orang-orang garis keras dan keras kepala, serta tuna sejarah. Adian Napitupulu, saya dan semua teman-teman seperjuangan mantan Aktivis '98, telah berbicara bertahun-tahun di berbagai media, menjelaskan apa dan bagaimana yang pernah dilakukan oleh kedua orang tersebut di kilasan sejarah Indonesia Menjelang 1998 (untuk PS), dan di kilasan Sejarah Indonesia Menjelang 2017 (untuk AB). Nyatanya, kami tidak pernah didengar apalagi dimengerti dan difahami oleh para pendukung PS dan AB. Bagi mereka, PS atau AB adalah tetap yang terbaik.
Banyak yang menduga, jika nantinya terdapat tiga Capres yang maju, maka GP akan kalah di putaran kedua, sebagaimana Ahok yang kalah di putaran kedua ketika bertarung di Pilkada DKI Jakarta 2017. Dugaan itu sangat tidak mungkin karena pendukung Jokowi yang mendukung GP umumnya akan tetap solid. Bahkan, dukungan itu bisa semakin bertambah selama tidak ada kasus besar yang menimpa GP sampai Pilpres 2024. Padahal GP relatif baru saja dideklarasikan sebagai capres PDIP, dibandingkan PS dan AB.
Selain itu, GP sudah memiliki banyak pilihan bacawapres (bakal calon wakil presiden) yang mumpuni, sedangkan PS dan AB hingga saat ini belum menemukan kesepakatan mengenai siapa yang akan mendampingi mereka. Keadaan itu diperparah dengan koalisi yang digagas PS dan Surya Paloh (SP) adalah koalisi bongkar pasang yang sewaktu-waktu bisa ditinggalkan parpol (partai politik) yang tiba-tiba memilih mendukung GP.
3. Mereka yang loyal mendukung Jokowi akan tetap setia mendukung figur yang akan dipilih oleh Presiden RI tersebut untuk menjadi penerus kepemimpinan nasional selanjutnya. Sebagai wujud loyalitas, maka ketika Jokowi telah memutuskan untuk memilih GP, para pendukung itu tentu sudah menyiapkan berbagai hal, seperti tenaga, waktu, dan dana guna menyukseskan GP.
Salah satu loyalis Jokowi yang siap mendukung penuh Capres GP adalah R. Haidar Alwi. Dia adalah seorang nasionalis yang berprofesi sebagai pengusaha pertambangan dan aktif di banyak organisasi kemasyarakatan.
Pria sukses yang sederhana ini memiliki jiwa sosial tinggi terhadap mereka yang tidak mampu. Selain itu, R. Haidar Alwi juga berkomitmen untuk menjaga kekayaan alam Indonesia (khususnya di bidang pertambangan) dari penjarahan yang dilakukan oleh para oligarki.
"Saya ingin mendukung penuh Mas Ganjar bukan hanya dengan waktu dan tenaga saja, melainkan juga dana yang saya punyai. [Hal itu] bukan karena saya ini kaya raya berlimpah harta, melainkan karena saya cinta Indonesia dan mau mendengar suara batin Presiden Jokowi yang selama bertahun-tahun ini saya bela-bela mati-matian, meskipun saya tidak pernah beliau perhatikan. Tidak apa-apa. Nawaitu saya adalah untuk kemaslahatan bangsa. NKRI ini bagi saya adalah segalanya," ucap R. Haidar Alwi yang sering dikatakan pada saya.
Kepiawaian Presiden Jokowi dalam berpolitik memang tidak mudah dibaca oleh lawan politiknya. Namun, para pendukungnya tampaknya mampu membacanya karena rasa cinta pada pemimpin bangsa tersebut. Sebagaimana yang dikatakan Kahlil Gibran dalam syairnya, "Cinta tidak di mulut, tidak juga di pikiran, melainkan di dalam hati."
R. Haidar Alwi dan Jokowi tampaknya faham dengan filosofi cinta Kahlil Gibran itu. Haidar mewujudkannya sebagai bentuk loyalitas tanpa pamrih pada Presiden Jokowi. Sedangkan Jokowi memberi nama untuk putranya sesuai nama sastrawan berdarah Lebanon itu.
Jadi meskipun Presiden Jokowi secara kasat mata mendukung PS, namun hatinya memancarkan aura bahwa pilihan politiknya adalah GP.
21 Mei 2023
Penulis adalah ahli hukum dan pengamat politik. [Benhil]