Burung seriwang sangihe (Eutrichomyias rowleyi) adalah salah satu hewan yang hidup di hutan sekitar Gunung Sahendaruman, Pulau Sangihe Sulawesi Utara (Sulut).
Sejak 120 tahun lalu, satwa endemik Gunung Sahendaruman Pulau Sangihe ini sempat dinyatakan punah.
Namun, pada tahun 1998, dua peneliti, John Riley dari University of New York, Amerika Serikat dan James C Wardill (University of Leeds, Inggris) berhasil membuktikan bahwa satwa tersebut belum punah.
Baca juga: Tips Merawat Burung Trucukan Agar Cepat Gacor
Riley dan Wardill patut berterima kasih kepada Anius Dadoali, tokoh masyarakat asal Kampung Ulung Peliang, Kecamatan Tamako, Sangihe.
Om Niu, sapaan Anius, adalah orang pertama yang menemukan kembali seriwang sangihe sejak dinyatakan punah selama lebih dari 120 tahun silam.
Ketika hendak mengambil air di hutan Sahendaruman, awal Oktober 1998, ia mendengar suara lima ekor seriwang sangihe di ranting pohon dekatnya mengambil air.
Temuan itu langsung disampaikan kepada Riley dan Wardill yang kebetulan sedang melakukan riset di hutan Sangihe. Burung itu pun akhirnya diberi nama lokal manu niu, atau burung niu.
Kendati telah hampir 23 tahun silam sejak ditemukan kembali, populasi manu niu belum beranjak aman.
Baca juga: Ramuan Tradisional untuk Murai Agar Gacor Tanpa Efek Samping
Dikutip dari Indonesia.go.id, Hanom Bashari yang meneliti populasi seriwang Sangihe pada 2014 lalu menyebut, tak lebih dari 150 individu seriwang sangihe berada di hutan Sahendaruman.
Sedangkan, hasil survei Burung Indonesia mengatakan, jumlahnya tak lebih dari 114 individu saja.
Selain potensi ancaman para pemburu liar, manu niu juga menghadapi musuh lainnya. Yaitu kehadiran pertambangan emas tanpa izin (PETI) di sekitar lembah dan lereng Gunung Sahendaruman. [Benhil Online]