Akhir November jalanan di Jakarta selalu disibukan dengan demo buruh kenaikan UMP (Upah Minimum Provinsi). Sebagian buruh mengaku makin miskin dengan kenaikan upah yang tidak sesuai dengan kenaikan harga.
Bagaimana awal ketimpangan kenaikan antara pegawai negeri atau ASN (Aparatur Sipil Negara) dan swasta (buruh)? Kronologi di bawah akan menjelaskannya.
Pihak yang menolak kenaikan UMP sebesar 5,6 persen, Serikat buruh menganggap keputusan Pj Gubernur DKI Jakarta itu tidak bisa diterima dengan beberapa alasan.
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal menyatakan kenaikan 5,6 persen (sekitar Rp 259,944) akan mengakibatkan buruh semakin miskin.
Alasannya, pada saat pandemi tidak ada kenaikan UMP dan daya beli masyarakat sedang turun akibat kenaikan harga BBM.
Pada Rabu, 30 November 2022, Iqbal menerangkan kebijakan kenaikan sebesar 5,6 persen itu diputuskan sebelum kenaikan harga BBM yang diputuskan bulan Oktober.
"Kami mengecam keras kebijakan Pj Gubernur DKI," ucap Said Iqbal.
Alasan lainnya adalah, kenaikan di daerah lain, seperti Bekasi dan Bogor lebih besar daripada di DKI Jakarta yang notabene adalah ibukota negara.
Said Iqbal menyatakan organisasi serikat buruh akan melakukan aksi besar-besaran di berbagai daerah dari tanggal 1 sampai 7 Desember 2022.
Politisasi Upah Minimum Provinsi
Beberapa tahun belakangan ini politisasi isu UMP atau UMK (upah minimum kota/kabupaten) selalu marak saat jelang pengumuman penyesuaian atau kenaikan. Beberapa politisi atau jaringannya memanfaatkannya untuk menarik simpati.
Saat menjabat sebagai gubernur DKI Jakarta, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengambil keputusan untuk menaikan upah buruh untuk kemudian menguncinya dengan undang-undang ketenagakerjaan sehingga buruh tidak perlu buang-buang waktu untuk turun ke jalan.
Jokowi tampaknya lupa, banyak politisi yang selalu mencari momen yang tepat untuk menarik keuntungan dari situasi, tidak terkecuali dengan isu kenaikan UMP.
Jadi berapa pun kenaikan UMP buruh, alih-alih memberi solusi yang bermanfaat, beberapa pihak akan menjadikannya sebagai ajang untuk menunjukan pengaruhnya.
Kronologi Ketimpangan Upah
Kondisi pemberian upah bagi pegawai di negara kita memang timpang dan seiring waktu kondisinya semakin buruk. Hal itu yang menyebabkan isu UMP rawan dipolitisasi.
Pada saat orde baru, gap tersebut tidak terlalu kentara karena upah ASN dan swasta tidak terpaut jauh. Bahkan, seringkali pendapatan pegawai swasta lebih besar karena tidak mendapat pensiun.
Ketimpangan tersebut berawal pada masa Presiden Gus Dur yang secara mengejutkan menaikkan gaji ASN hingga 270% atau hampir 3 kali lipat tahun 2001. Presiden selanjutnya, Megawati Soekarnoputri menaikan gaji abdi negara sebesar 15%.
selama menjabat 10 tahu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menaikkan gaji ASN sebanyak 9 kali atau jika diakumulasi besarannya adalah 143%. Sedangkan saat ini Presiden Jokowi baru sekali menaikkan gaji ASN sebesar 6%.
Yang jadi masalah, saat para presiden itu menaikan gaji pegawai negeri, gaji pegawai swasta dan ASN yang belum diangkat tentu saja tidak ikut naik.
Kenaikan pegawai swasta hanya mengikuti inflasi yang setiap tahun hanya naik sekitar 3-5 persen saja.
Lambat laun upah antara ASN dan pegawai swasta semakin melebar dan menimbulkan kecemburuan sosial yang gampang dimanfaatkan sebagai isu sosial politik.
Seandainya mereka yang berkepentingan dengan penggajian bisa belajar dari beberapa negara maju, tentu gap upah pegawai tidak menjadi semakin lebar.
Di sana upah diberikan berdasarkan hasil kinerja dan setiap pembayar pajak mendapat pensiun di masa tua, baik itu pegawai negeri atau swasta. [Benhil]