Saat Putra Mahkota Mohammed bin Salman (MbS) mengambil alih kerajaan Arab Saudi, dia menjadikan negara itu sebagai surga pesta. Baru-baru ini diselenggarakan pesta musik akbar, Soundstorm yang sukses besar di sana.
Banyak yang menganggap tindakan MbS itu sebagai persaingan bisnis di Teluk. Gebrakan itu juga disinyalir sebagai upaya menutupi kasus HAM (hak asasi manusia) di negara kelahiran agama Islam itu.
Putra mahkota yang memimpin sejak 2017 itu mengijinkan festival musik tahunan bernama Soundstorm yang menyedot 700 ribu kawula muda Saudi. Hampir dua kali lipat pengunjung festival musik terbesar di Amerika Serikat (AS), Las Vegas Electric Carnival yang dihadiri 400 ribu penonton.
Soundstorm di Riyadh tahun ini mendatangkan David Guetta, Post Malone, dan Bruno Mars yang berlangsung 1-3 Desember 2022. Tiket masuk ke festival itu seharga Rp 614 ribu hingga Rp 27 juta.
MbS telah melazimkan pemandangan pria dan wanita secara bersama menikmati hingar bingar musik, mengikuti aturan wanita boleh tak berjilbab. Sesuatu yang dianggap tabu pada era sebelumnya.
Dilansir dari CNN Internasional, Anna Jacobs selaku pengamat dari lembaga think tank Crisis Group menyatakan perhelatan itu sebagai upaya perubahan sosial ekonomi Arab Saudi.
"Saya pikir ada cara untuk acara internasional besar ini - apakah itu Piala Dunia di Qatar atau festival musik di Arab Saudi - untuk membantu membuka wacana publik untuk debat kritis," ujar Jacobs.
Persaingan menjaring investasi di negara Timur Tengah atau Teluk sangat tajam. Langkah Arab Saudi yang menawarkan 'hiburan kelas dunia' dan Qatar yang berhasil menggelar Piala Dunia 2022, akan diikuti oleh negara-negara lain di sana.
Baru-baru ini, pesaing ekonomi terbesar Saudi di Timur Tengah, Uni Emirat Arab (UEA) telah membangun kasino pertama kali dan terbesar. Hal itu juga merupakan langkah revolusioner karena sebelumnya perjudian dianggap ilegal dan diharamkan oleh agama di UEA.
Visi Arab Saudi 2030
Meski mampu meraih Rp 450 triliun dari pariwisata, Arab Saudi tetap perlu mengambil langkah strategis untuk mengamankan ekonomi mereka di masa datang.
Negara itu sudah mulai langkah modernisasi ekonomi sejak 2016 dengan mencanangkan Visi 2030. Visi itu bertujuan untuk mengurangi ketergantungan ekonomi negara pada minyak.
Pengamat Saudi, Ali Shihabi menyatakan, izin untuk menyelenggarakan festival (musik) itu adalah untuk memberi hiburan domestik dan peluang pariwisata lokal bagi kaum muda sehingga mereka tak perlu bepergian ke luar negeri untuk mendapatkan hiburan.
Shihabi mengakui, beberapa kaum konservatif tidak bisa menerima festival yang mengumbar kesenangan itu. Namun, Saudi yang mayoritas penduduknya adalah kaum muda akan menerima banyak manfaat dari perhelatan tersebut.
Upaya Menutupi Kasus HAM
Festival pesta musik di Saudi itu juga mendapat tanggapan kritis dari pihak lain. Organisasi pemantau hak asasi manusia, Human Rights Watch (HRW), menyatakan kegiatan seperti itu untuk mengalihkan isu keburukan HAM Saudi.
HRW menyatakan para artis (yang menjadi bintang tamu festival) perlu menyampaikan kalau Arab Saudi bersih dari HAM. jika enggan melakukannya, mereka batal jadi bintang tamu.
"Arab Saudi telah mengeluarkan miliaran dolar untuk mengadakan acara hiburan dan budaya besar-besaran sebagai cara yang disengaja untuk menghapus catatan hak asasi manusia negara yang buruk. Festival musik Soundstorm juga sebagai upaya itu," kata peneliti HRW, Joey Shea.
Shea mengatakan di balik acara hiburan kelas dunia itu, terjadi gelombang penangkapan sewenang-wenang terhadap mereka yang kritis, aktivis, pembela HAM, dan warga sipil Saudi.
Namun, pendapat itu ditolak oleh pengamat Ali Shihabi. Dia menyatakan, festival itu tidak berhubungan dengan citra Saudi di mata dunia. Itu murni untuk melayani kebutuhan masyarakat lokal yang haus hiburan. [Benhil]