Salah satu pernyataan yang dilontarkannya adalah kalau mau rebutan duit (uang) jangan bicara politik identitas.
Dalam kondisi politik yang mulai memanas jelang 2024 ini, pernyataan Gus Yahya tersebut seperti membela kepentingan nasional dan keutuhan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia).
Dalam video yang beredar di media sosial itu, Ketum PBNU terpilih 2022-2027 tersebut membuka kalimat tentang perbedaan.
"Kita boleh berbeda dalam soal apapun. Soal jenggot, soal celana cingkrang, silakan berbeda," ucap Gus Yahya.
Namun meski berbeda, menurutnya terdapat satu hal yang perlu dipatuhi.
"Tidak boleh menganggu NKRI, Pancasila, UUD 45, dan Bhineka Tunggal Ika. Itu saja," ucap pria kelahiran Rembang, 16 Februari 1966 itu.
Lebih jauh, Gus Yahya seakan menyindir suasana politik yang mulai memanas karena ulah para politisi yang tidak bisa meredam ambisi kekuasaan. Padahal Pilpres (pemilihan presiden) baru akan dilaksanakan pada 2024.
"Dalam politik harus lebih rasional. Jangan menjadikan identitas sebagai senjata politik karena itu berbahaya sekali," ujarnya.
Ulama lulusan UGM (Universitas Gajah Mada) Yogyakarta itu secara blak-blakan menyebut tujuan sebagian mereka yang terjun ke politik pragmatis.
"Kalau memang mau rebutan duit dan jabatan harus bisa mengerjakannya. Nggak usah bicara politik identitas," ucap Gus Yahya.
Video tersebut beredar di Facebook dan diunggah salah satunya oleh akun bernama Budi Purwokartiko pada hari ini, Minggu, 11 Desember 2022.
- Berita Sebelumnya: Prestai Mbah Rono, Ahli Vulkanologi yang Nyaleg dari PDIP
Netizen Setuju
Penyataan Gus Yahya itu langsung mendapat tanggapan positif dari netizen. Hampir semuanya setuju dengan sikap ormas Islam terbesar itu.
'Jujur saja mau jabatan bisa apa dan mau ngapain kalau sudah menjabat,' tulis sebuah akun.
'Setuju. Jujur lebih baik,' tulis netizen lain.
Pantauan Situs Berita Daring Benhil, masyarakat Jawa Tengah dan Jawa Timur hingga saat ini tidak simpati dengan politisi yang membawa-bawa politik identitas. Mereka lebih percaya dengan karya nyata dan prestasi. [Benhil]