Ganjar yang merupakan calon presiden dengan elektabilitas tertinggi (Sekitar 27%) menyampaikan hal itu pada acara peringatan Hari Guru Nasional tanggal 25 November 2022. Menurutnya, perbedaan pendapatan guru tersebut dikarenakan adanya guru sertifikasi dan non sertifikasi.
Mendikbud Nadiem Makarim dan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang turut hadir pada acara tersebut juga ikut mendengarkan pernyataan Ganjar Pranowo yang secara terang-terangan menyebut kalau terdapat ketimpangan antara gaji guru sertifkasi dan non sertifikasi.
"Saya ngomong pendidikan tepuk tangannya keras. Ngomong pendapatan, apalagi. Bahkan perbedaan pendapat itu bisa lebih diterima dibanding perbedaan pendapatan," kata Ganjar Pranowo saat sambutan pada acara tersebut dalam skala nasional.
Menanggapi pernyataan orang nomor satu di Jateng itu, Nadiem menyatakan bahwa sebanyak 1,6 juta guru non sertifikasi dipastikan akan menerima tunjangan profesi guru.
Mantan boss perusahaan transportasi ojek online berbasis aplikasi, Gojek itu dalam beberapa kesempatan secara sangat detail menjelaskan kalau mulai tahun depan, gaji guru non sertifikasi akan sama dengan gaji guru yang sudah bersertifikasi.
Isu Klasik Ekonomi
Sebenarnya, ketimpangan pendapatan yang disampaikan Ganjar tersebut sudah menjadi masalah klasik bagi perekonomian Indonesia, khususnya dalam hal penerimaan gaji.
Hal itu tidak hanya terjadi di dunia pendidikan, namun menyeluruh pada semua lini ASN (aparatur sipil negara). Di kantor-kantor abdi negara tersebut, bagi pegawai yang sudah diangkat akan mendapat gaji dan tunjangan yang jauh lebih baik daripada pegawai yang belum diangkat menjadi ASN (wiyata bakti).
Bahkan ketimpangan pendapatan tersebut semakin parah jika gaji ASN dibandingkan dengan pegawai sektor swasta, khususnya buruh. ASN bisa mendapatkan gaji yang layak, tunjangan yang lumayan, dan juga pensiun di masa tua. Sedangkan buruh harus bisa bertahan hidup dengan gaji UMK (upah minimum kota/kabupaten)
Saat ini kehidupan buruh betul-betul pas-pasan sehingga untuk memperoleh kehidupan yang layak, seorang suami buruh perlu ditopang dengan istri yang juga bekerja.
Awal mula terdapat gap pendapatan yang cukup besar tersebut berawal sejak pascareformasi, di mana presiden mengambil kebijakan dalam masalah gaji ASN.
Dimulai pada masa Presiden Gus Dur yang menaikkan gaji ASN hingga 270% atau hampir 3 kali lipat pada awal memasuki abad milenial. Dilanjutkan dengan Megawati Soekarnoputri yang menaikan gaji ASN sebesar 15%
Saat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memimpin selama 2 periode, dia paling sering menaikkan gaji abdi negara tersebut. Selama 10 tahun, SBY tercatat 9 kali menaikkan gaji ASN yang jika diakumulasi secara total adalah 143%.
Sedangkan saat ini Presiden Jokowi baru sekali menaikkan gaji ASN sebesar 6%.
Nah, ketimpangan yang sangat lebar itu muncul ketika pemerintah menaikan gaji pegawai negeri, tentu tidak disertai dengan pegawai yang bukan negeri, baik itu ASN yang belum diangkat atau pegawai swasta.
Semakin lama gap gaji antara ASN dan non ASN semakin melebar dan riskan dimanfaatkan sebagai isu sosial politik.
Belajar dari Negara Maju
Di negara maju seperti Amerika Serikat, Belanda, Australia, dan lain-lain, pihak negara hadir untuk mengantisipasi masalah ketimpangan gaji. Pemerintah yang maju tidak berat sebelah dalam menentukan pendapatan bagi warganya.
Di sana, baik ASN atau pegawai swasta memiliki hak untuk hidup layak dan memiliki pendapatan yang memadai bagi keluarga. Sistem gaji juga tidak berdasarkan pengangkatan atau sertifikasi, tapi dari tugas yang dilaksanakan.
Bagaimana dengan uang pensiun saat tubuh sudah tidak bisa untuk bekerja? Semua pekerja yang membayar pajak akan mendapat pensiun tanpa melihat status dan jenis-nya.
Mungkin hal itu bisa menjadi masukan bagi para pemangku kepentingan di negara kita ini. Semua butuh proses. [Benhil]