Pulau Flores yang berada di provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) tidak saja terkenal dengan budayanya, tetapi pesona keanekaragaman flora dan fauna.
Selain Komodo, ada satu hewan yang merupakan endemik pulau yang dikenal dengan julukan Nusa Bunga ini yaitu Elang Flores.
Burung pemangsa yang satu terancam punah dan semakin hari populasinya semakin mengkhawatirkan populasinya.
Dilansir dari Indonesia.go.id, data terbaru menunjukkan populasi pemilik nama latin Nisaetus floris ini hanya tinggal 10 ekor saja.
Burung ini sendiri diartikan sebagai key species yang dapat mempengaruhi ekosistme yang saling bergantungan serta jumlah dan karakteristik spesies lain di suatu komunitas. (Raja Mohd, 2017).
Untuk diketahui Elang Flores merupakan jenis burung elang yang tidak ditemukan di negara lain yang hanya ada di Indonesia.
Ukuran fisik burung Elang Flores yang besar hingga 71-82 centimeter.
Sebenarnya, penyebaran populasi Elang Flores ini tidak hanya ada di Flores, tetapi meliputi Pulau Rinca di Kabupaten Manggarai Barat, Sumbawa, Lombok, Satonda.
Habitat burung besar Elang Flores mudah dijumpai di kawasan hutan daratan rendah yang memiliki ketinggian hingga 1.000 mdpl.
Ini tentu saja berhubungan dengan cara berburunya yang menerkam dengan jarak yang tidak terlalu tinggi. Diantaranya ada di kawasan Hutan Mbeliling di Kabupaten Manggarai Barat dan Taman Nasional Kelimutu Kabupaten Ende.
Burung Elang Flores secara fisik tidak terlalu jauh berbeda dengan Elang Brontok dengan bulu putih di kepala sampai leher dan warna cokelat dengan garis putih di ujung sayapnya.
Salah satu eksotiseme burung ini biasanya karena memperlihatkan mahkota di atas kepalanya saat bertengger di ranting pohon.
Namun, hewan endemik Indonesia ini kini populasinya terancam akibat ulah perburuan yang tinggi. Data Badan Konservasi Dunia IUCN (International Union for Conservation of Nature) menetapkannya sebagai jenis Kritis (Critically Endangered/CR) populasinya saat ini diperkirakan antara 100 hingga 240 individu dewasa.
Sementara itu, dari data Pemerintah Daerah Kabupaten Ende yang disampaikan Bupati Marsel Petu pada April 2019, populasi Elang Flores di kawasan Taman Nasional Kelimutu, Flores, NTT semakin terancam dan tersisa hanya tinggal 10 ekor.
Bagi masyarakat setempat, yang sebagian besar masyarakat Flores merupakan suku Manggarai yang kebanyakan dapat mengenali banyak jenis elang. Mereka menamai Elang Flores sebagai Ntangis.
Mereka juga menamai sejumlah kecil Elang seperti Jumburiang untuk Elang Bonelli’s (Hieratus fasciatus) dan Lawang ntangis untuk Brahminy Kite (Halistur Indus).
Suku Manggarai di bagian barat Flores menganggap bahwa Elang Flores sebagai toem atau empo, leluhur manusa, dan tidak boleh disiksa, dibunuh, atau ditangkap (Trainor & Lesmana 2000).
Kian terancamnya populasi Elang Flores tidak bisa dipisahkan dari keresahan masyarakat yang dianggap sebagai hama atas hewan unggas peliharaanya.
Bahkan, tidak hanya itu, berdasarkan data dari Taman Nasional Gunung Rinjani, perburuan liar, kebakaran hutan dan penebangan hutan dengan masif menyebabkan tergerusnya habitat burung Elang Flores hanya tinggal menyisakan 36,1 hektare. [Benhil Online]